banner 728x250
OPINI  

Jambi dan Desain Besar Sawit-Kelapa-Karet: Antara Rencana Strategis dan Realita

Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP/Akademisi UIN STS Jambi

Oleh : Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP – Akademisi UIN STS Jambi

SEBAGAI dari upaya mendukung pembangunan Asta Cita yang tertuang dalam agenda nasional jangka panjang, arah kebijakan pembangunan Provinsi Jambi sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 menegaskan peran strategis provinsi ini sebagai penyangga bioindustri dan ketahanan energi Sumatera.

banner 325x300

Dalam kerangka tersebut, Jambi diarahkan untuk mengembangkan korporasi petani dan mengoptimalkan kawasan komoditas unggulan, khususnya sawit, kelapa, dan karet, yang tersebar di beberapa kabupaten seperti Muaro Jambi, Tebo, Merangin, Bungo, hingga Tanjung Jabung Barat dan Timur.

Kawasan-kawasan ini diklasifikasikan secara strategis dalam dokumen RKP 2026 sebagai pusat produksi dan hilirisasi.

Misalnya, Tanjung Jabung Timur dan Barat ditetapkan sebagai kawasan unggulan untuk sawit dan kelapa, sementara Cekungan Batanghari (yang meliputi enam kabupaten/kota) difokuskan untuk pengembangan sawit dan karet (Sumber: Draf RKP 2026, 7 April 2025).

Upaya ini kemudian diterjemahkan lebih lanjut melalui desain kawasan unggulan yang difokuskan pada komoditas kelapa sawit, karet, dan kelapa sebagai langkah strategis untuk mewujudkan arah kebijakan tersebut secara konkret di lapangan.

Desain kawasan unggulan kelapa sawit, karet dan kelapa yang tengah diinisiasi di Provinsi Jambi merupakan bagian dari visi jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045.

Dengan mengusung tiga pilar utama, hilirisasi, keberlanjutan, dan peningkatan ekonomi masyarakat, desain ini selaras secara strategis dengan arah RPJMN 2025–2029 serta cita-cita pembangunan nasional yang berkelanjutan dan inklusif.

Namun, seperti halnya secercah mimpi, peluang besar ini menyimpan tantangan yang perlu cermat diantisipasi agar tidak menjadi retorika semata.

Fondasi untuk mewujudkan desain besar ini sejatinya telah dimiliki Jambi, mengingat provinsi ini memiliki basis pertanian yang kuat dan kontribusi nyata dari sektor perkebunan terhadap perekonomian daerah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kelapa sawit rakyat tahun 2024 mencapai 2,496 juta ton, dan produksi kelapa tercatat 114 ribu ton.

Jambi menempati peringkat ke-6 nasional dalam produksi sawit dengan luas lahan mencapai 1,1 juta hektare (Sumber: opendata.jambiprov.go.id).

Tak kurang dari 252 ribu kepala keluarga menggantungkan hidup pada sektor ini, dan subsektor perkebunan (terutama sawit) menyumbang 22,42 % terhadap PDRB Jambi tahun 2023, naik dari 20,95 % pada tahun sebelumnya.

Selain kelapa dan kelapa sawit, karet juga menjadi komoditas unggulan yang tak kalah strategis bagi Provinsi Jambi.
Menurut data BPS Jambi tahun 2024, luas areal perkebunan karet rakyat di Jambi mencapai 601,8 ribu hektare, dengan produksi tahunan sekitar 430.000 ton.

Komoditas ini tersebar luas di wilayah seperti Kabupaten Batanghari, Bungo, dan Tebo. Meski kontribusinya terhadap PDRB sedikit di bawah sawit, sektor karet tetap menjadi penopang ekonomi rumah tangga petani di pedesaan.

Namun, berbeda dengan sawit yang telah mengalami proses hilirisasi lebih masif, industri pengolahan karet di Jambi masih terbatas pada pengolahan bahan setengah jadi seperti crumb rubber, dengan nilai tambah yang relatif kecil.

Tantangan klasik seperti fluktuasi harga karet dunia, rendahnya akses petani terhadap teknologi pascapanen, dan lemahnya integrasi antara koperasi petani dengan pabrik pengolahan menjadi penghambat utama penguatan rantai nilai karet.

Dari sisi kesejahteraan petani, tren positif sempat terlihat. Nilai Tukar Petani (NTP) Jambi pada Desember 2024 mencapai 172,17, meningkat signifikan dari 142,2 di awal tahun.
Namun, data terbaru menunjukkan adanya tekanan baru: per Juni 2025, NTP turun menjadi 166,94, dan NTUP tercatat 170,03, menandakan bahwa daya beli petani mulai tergerus (Sumber: jambi.bps.go.id).

Transformasi Hilirisasi Komoditas Unggulan: Peluang dan Ketimpangan

Secara nasional, hilirisasi kelapa sawit telah menunjukkan dampak besar. Kapasitas pengolahan CPO (refinery) meningkat dari 25 juta ton pada 2010 menjadi 75 juta ton pada 2022 naik tiga kali lipat dalam dua dekade (Sumber: ikmbspjisby.kemenperin.go.id, KOMPAS.com).

Industri turunan seperti biodiesel memiliki kapasitas hingga 17,5 juta ton/tahun, oleokimia 11,6 juta ton/tahun, dan oleofood 2,7 juta ton/tahun.

Hasilnya, ekspor produk sawit hilir kini menyumbang 73 % dari total ekspor sawit Indonesia (2022), meningkat tajam dari hanya 18 % pada 2015.
Nilai ekspor hilir periode 2015–2022 tercatat 176,84 miliar USD, menyerap 5,2 juta tenaga kerja, dan menopang kehidupan lebih dari 21 juta jiwa rakyat Indonesia (Sumber: pasardana.id, Antara News).

Namun, tidak semua daerah meraih keberhasilan serupa. Di Kalimantan Timur, misalnya, meski memiliki cadangan sawit besar, banyak proyek hilirisasi mandek akibat minimnya infrastruktur dasar seperti pelabuhan, listrik, dan jalan produksi.

Selain itu, petani swadaya yang belum tersertifikasi ISPO kesulitan mengakses pasar dan pendanaan, membuat keuntungan hilirisasi hanya mengalir ke korporasi besar (Sumber: indonesia.go.id, bpdp.or.id).

Peluang Struktural dan Tantangan di Provinsi Jambi

Provinsi Jambi memiliki semua elemen dasar untuk mengembangkan hilirisasi yang inklusif: luas lahan, produksi tinggi, dan daya beli petani yang sempat meningkat. Namun, sejumlah hambatan struktural masih nyata:

Akses modal terbatas bagi koperasi dan petani kecil untuk membangun unit pengolahan.
Infrastruktur belum merata, terutama di wilayah produktif seperti Muaro Jambi, Tebo, Merangin, dan Bungo.

Sertifikasi ISPO/RSPO masih menghadapi tantangan legalitas lahan dan kapasitas teknis petani (Sumber: opendata.jambiprov.go.id).

Pendekatan Strategis Menuju Hilirisasi Inklusif dan Berkelanjutan

Agar hilirisasi tidak menjadi simbol pembangunan semu, Jambi perlu menerapkan tiga strategi utama:

1. Infrastruktur dan Pembiayaan Inklusif

Fasilitas seperti pelabuhan mini, jalan produksi, dan listrik harus dibangun di sentra produksi.

Akses modal dari BPDPKS, KUR, dan dana desa perlu diarahkan untuk koperasi petani dan BUMDes.

Misalnya, koperasi petani karet di Bungo dapat difasilitasi untuk memiliki peralatan pengasapan dan pembekuan lateks agar menghasilkan produk olahan yang berdaya saing industri.

2. Penguatan Kelembagaan Petani dan Sertifikasi Berbasis Kebutuhan

Pemerintah harus memperkuat koperasi sebagai aktor utama hilirisasi, seperti model sukses di Sumatera Barat. Pelatihan teknis dan pendampingan administrasi ISPO/RSPO serta akses pasar perlu dijalankan secara paralel untuk petani sawit, kelapa, dan karet.

3.Transparansi, Partisipasi, dan Pengawasan Publik

Distribusi manfaat hilirisasi mesti terbuka. Monitoring sosial dan audit publik harus dilakukan untuk memastikan partisipasi petani kecil dan mencegah dominasi korporasi besar.

4.Menjaga Arah dan Akar Pembangunan Daerah

Distribusi manfaat hilirisasi mesti terbuka. Monitoring sosial dan audit publik harus dilakukan untuk memastikan partisipasi petani kecil dan mencegah dominasi korporasi besar.

Di sinilah pentingnya kembali pada semangat korporasi petani dalam desain awal kawasan unggulan Provinsi Jambi.

Kebijakan besar yang telah dirancang perlu dijalankan dengan keberpihakan yang nyata, tidak hanya skematis.

Namun untuk mewujudkan semangat tersebut, diperlukan kesiapan struktural dan keberpihakan nyata di tingkat lokal agar potensi yang dimiliki Jambi benar-benar dapat diwujudkan secara inklusif.

Jambi punya semua modal agar kawasan unggulan sawit–kelapa–karet tumbuh menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Tapi, keberhasilan hilirisasi nasional bukan jaminan otomatis di tingkat daerah.

Tanpa langkah konkret memperkuat petani kecil, koperasi lokal, dan infrastruktur dasar, kawasan unggulan ini berisiko menjadi simbol pembangunan semu.

Dengan demikian, meskipun potensi sumber daya telah tersedia, efektivitas transformasi kawasan unggulan sangat ditentukan oleh kapasitas kelembagaan dan kualitas implementasi kebijakan di tingkat lokal.

Yang dibutuhkan bukan hanya desain hebat, tetapi juga keberanian memperbaiki arah bila terbukti tidak adil, dan kemauan mendengar suara rakyat.

Dengan itu, kawasan ini bisa menjadi wajah nyata masa depan yang lebih berpihak dan berakar pada kekuatan lokal Jambi.

Pada akhirnya, keberhasilan desain besar ini akan sangat ditentukan oleh ketepatan arah implementasi dan keberanian untuk menyusun kebijakan berbasis kenyataan, bukan sekadar asumsi.

Jika pemerintah daerah mampu menjadikan petani sebagai subjek pembangunan, bukan objek semata, maka transformasi ekonomi Jambi dari produsen bahan mentah menjadi pusat bioindustri berbasis sawit, kelapa, dan karet bukanlah utopia, melainkan keniscayaan sejarah yang sedang ditulis bersama rakyat.

banner 325x300
banner 325x300