Jakarta, Sumateradaily.com — Anggota Komisi III DPR RI, M. Nasir Djamil, mengangkat isu penting terkait kekosongan dalam struktur pengawasan DPR RI terhadap upaya deradikalisasi.
Ia menyoroti belum terbentuknya tim pengawasan di DPR sebagai perhatian utama.
“Belum terbentuknya Badan Pengawasan DPR menjadi fokus perhatian yang serius,” ungkapnya.
Diskusi kelompok terarah (FGD) bertema “Mencintai NKRI dari Balik Jeruji: Efektivitas Deradikalisasi Napiter di Indonesia” digelar di Swiss Bell Residence, Rasuna Epicentrum, Setia Budi, Jakarta Selatan, Selasa 28 Mei 2024.
Acara yang dimulai pada pukul 14.00 tersebut dihadiri oleh sejumlah narasumber kunci yang membahas berbagai aspek deradikalisasi narapidana terorisme (napiter) di Indonesia.
Narasumber yang hadir antara lain Brigjen Pol R. Ahmad Nurwakhid (Direktur Deradikalisasi BNPT), Erwedi Supriyatno (Direktur Pembinaan Narapidana dan Anak Binaan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia), Saffar Muhammad Godam (Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia), dan Antonius Benny Susetyo (Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP).
Dalam upaya memerangi radikalisme, M. Nasir menekankan tiga prinsip utama: ajaran agama, konstitusi, dan nilai-nilai lokal.
“Apakah setiap umat agama telah benar-benar mengaplikasikan ajaran agama sebagai pedoman dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan negara?” tanyanya. Ia menegaskan pentingnya memahami ajaran agama dengan pendekatan moderat untuk menjauhi radikalisme dan terorisme.
Selain itu, Nasir Djamil juga menyoroti pentingnya konstitusi, ajaran agama, dan nilai-nilai lokal sebagai landasan dalam melawan radikalisme. “Konstitusi secara tegas menetapkan bahwa NKRI tidak dapat diganggu gugat. Prinsip-prinsip ini harus menjadi pijakan dalam setiap upaya deradikalisasi,” tambahnya.
Di sisi lain, Brigjen Pol R. Ahmad Nurwakhid menjelaskan bahwa deradikalisasi dapat dikelompokkan dalam tiga aspek: radikalisme atau ekstremisme yang berujung pada terorisme, kontra-radikalisme, dan deradikalisasi. Ia menekankan pentingnya regulasi, keadilan, dan kepastian hukum dalam menangani radikalisme, serta tantangan dari kurangnya regulasi yang secara eksplisit melarang radikalisme di dalam penjara.
Direktur Deradikalisasi BNPT juga menekankan perlunya penanganan radikalisme secara holistik, mulai dari regulasi hingga pembinaan kewirausahaan.
Diskusi juga menggarisbawahi pentingnya pembinaan wawasan kebangsaan bagi napiter, seperti yang disampaikan oleh Erwedi Supriyatno, Direktur Pembinaan Narapidana dan Anak Binaan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. “Tantangan terbesar adalah napiter seringkali bertentangan dengan ideologi Pancasila,” ujarnya.
Sementara itu, Saffar Muhammad Godam, Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian, menyoroti pentingnya kerja sama intelijen untuk mencegah masuknya teroris melalui jalur imigrasi.
Menyikapi hal ini, Antonius Benny Susetyo, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, menekankan pentingnya pendekatan kemanusiaan dan pemahaman Pancasila dalam memerangi radikalisme.
“Terorisme memanfaatkan agama untuk kepentingan sesaat. Pendekatan holistik diperlukan dalam menghadapi paham radikalisme,” katanya.
Dengan demikian, dari diskusi ini terlihat bahwa meskipun upaya deradikalisasi sedang dilakukan, masih ada tantangan yang perlu diatasi, termasuk kurangnya regulasi eksplisit untuk melarang radikalisme di dalam tahanan.
Namun, pentingnya memanfaatkan ajaran agama, konstitusi, dan nilai-nilai lokal sebagai fondasi dalam melawan radikalisme dan terorisme sangat ditekankan. Sektor publik dan swasta perlu bekerja sama dalam pendekatan holistik untuk meningkatkan efektivitas deradikalisasi napiter di Indonesia.
FGD ini difasilitasi PT Indonesia Digital Pos (IDP) didukung oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (PAS), Kementerian Hukum dan HAM, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Direktorat Jenderal Imigrasi.***
Penulis: Alma