banner 728x250
OPINI  

Kontrak Politik Dibalik Layar

banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP
Tenaga Ahli Gubernur Bidang Tata Kelola Pemerintahan

Budaya kontrak politik yang berkembang seiring dengan praktik pemilihan langsung presiden, wakil presiden, calon legislatif (caleg), serta kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) telah memiliki dampak signifikan pada praktik politik di berbagai tingkatan.

banner 325x300

Dalam konteks ini, kontrak politik sering kali dianggap sebagai perjanjian yang melibatkan elite partai dalam koalisi, calon presiden atau kepala daerah dan caleg dengan partai pendukung mereka, dan calon presiden atau kepala daerah dan caleg dengan pemilih atau masyarakat.

Namun, kekhawatiran utama terletak pada kenyataan bahwa dalam kontrak politik yang dirancang oleh elite, masyarakat sering kali hanya dianggap sebagai pendukung dan target dari upaya mobilisasi politik.

Dalam peran ini, masyarakat terus mengalami marginalisasi dalam proses politik, bahkan sampai pada titik di mana mereka merasa memiliki sedikit kekuatan politik yang sesungguhnya. Hal ini menciptakan ketidaksetaraan dalam pengambilan keputusan politik dan memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana demokrasi benar-benar mewakili suara dan kepentingan rakyat.

Diskusi mengenai budaya kontrak politik dan implikasinya dapat diterangkan melalui pendekatan teori pertukaran sosial yang diajukan oleh Peter Blau (1964).

Teori ini menggambarkan bahwa hubungan pertukaran sosial antara individu terjadi sebagai hasil dari pertimbangan atas imbalan yang diperoleh.

Oleh karena itu, setiap pertukaran sosial melibatkan unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost), dan keuntungan (profit).

Proses pertukaran sosial dalam ranah politik muncul karena adanya pihak yang membutuhkan bantuan dan pihak yang memberikan bantuan. Hal ini menyoroti pentingnya aspek kepentingan dalam konteks ini.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam budaya kontrak politik, perbincangan tentang siapa yang mendapatkan apa, bagaimana, dan kapan, menjadi fokus utama.

Ketidaksetaraan dalam kontrak politik dan pengalaman masyarakat sebagai sekedar pendukung atau alat mobilisasi telah menimbulkan ketidakpuasan yang semakin meluas dalam masyarakat.

Rakyat yang merasa terpinggirkan secara politik cenderung kehilangan kepercayaan pada sistem politik dan pemimpin mereka.

Hal ini dapat berdampak negatif pada stabilitas politik dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga demokratis. Untuk memperbaiki kondisi ini, perlu dilakukan perubahan mendasar dalam budaya kontrak politik.

Rakyat harus diberikan peran yang lebih aktif dan bermakna dalam proses politik. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan politik, transparansi dalam proses kontrak politik, dan akuntabilitas para pemimpin politik menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan dan keadilan dalam demokrasi.

Di Indonesia, terdapat beberapa contoh kontrak politik yang terjadi dalam dunia politik. Beberapa di antaranya adalah:

1. Koalisi Partai Politik: Salah satu bentuk kontrak politik yang umum terjadi adalah pembentukan koalisi partai politik.

Partai-partai politik dengan visi dan tujuan yang sejalan mungkin membentuk koalisi untuk mendukung calon presiden atau calon kepala daerah dalam pemilu atau pilkada.

Contohnya adalah koalisi antara partai-partai seperti Golkar, PDIP, dan NasDem yang mendukung calon presiden pada pemilu.

2. Koalisi di Pilkada: Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), partai-partai politik sering membentuk kontrak politik dengan calon kepala daerah.

Mereka dapat menegosiasikan persyaratan dukungan dan janji-janji program politik dalam pertukaran dukungan partai.

3. Pertukaran Jabatan Kabinet: Setelah pemilihan presiden, presiden terpilih seringkali membentuk kabinet yang terdiri dari berbagai partai politik yang mendukungnya.

Kontrak politik dalam hal ini mencakup penunjukan menteri dan pengaturan portofolio menteri berdasarkan hasil perundingan antara partai-partai koalisi.

4. Perjanjian Legislasi: Di parlemen, partai-partai politik seringkali melakukan perjanjian legislatif untuk mendukung atau menentang undang-undang tertentu atau kebijakan tertentu.

Ini dapat mencakup kesepakatan untuk mendukung atau menentang undang-undang tertentu dalam pertukaran untuk dukungan dalam hal lain.

5. Perjanjian Lokal: Dalam konteks pilkada, calon kepala daerah sering berkontrak dengan pemimpin lokal atau tokoh masyarakat untuk mendapatkan dukungan dan akses ke basis pemilih di daerah tertentu.

Dalam kontrak politik tersebut, pertanyaan mendasar muncul mengenai landasan motivasi yang mendasarinya.

Apakah yang mendominasi adalah kepentingan pragmatis jangka pendek, atau justru sebaliknya, apakah motivasinya lebih menekankan pada kepentingan jangka panjang yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat?

Perbandingan antara fokus pada kepentingan jangka pendek dan jangka panjang dalam kontrak politik memiliki dampak yang signifikan pada pembuatan kebijakan, pelaksanaan program, dan akhirnya kesejahteraan masyarakat.

Transparansi mengenai landasan motivasi di balik kontrak politik dapat membantu masyarakat dan pemilih untuk lebih memahami tujuan politik yang sebenarnya dan mengukur kinerja pemimpin politik dalam mencapai tujuan jangka panjang untuk kebaikan bersama.

Pertanyaan mengenai landasan motivasi dalam kontrak politik mengingatkan kita pada pentingnya pemahaman yang lebih mendalam terhadap visi dan tujuan pemimpin politik.

Jika kepentingan pragmatis mendominasi, maka perlu ditinjau apakah kebijakan yang dihasilkan cenderung bersifat singkat dan tidak berkelanjutan.

Sebaliknya, jika motivasi jangka panjang menjadi prioritas, maka kebijakan yang dilaksanakan mungkin lebih condong kepada perencanaan strategis yang berkelanjutan untuk masyarakat.

Oleh karena itu, mendalami pertanyaan mengenai motivasi dalam kontrak politik adalah langkah penting dalam membangun politik yang lebih transparan, akuntabel, dan lebih sejalan dengan kepentingan jangka panjang masyarakat di daerah tersebut.

Perlu dicatat bahwa kontrak politik dapat beragam, dan banyak di antaranya tidak selalu transparan atau terlihat oleh publik secara langsung.

Mereka sering kali melibatkan negosiasi yang kompleks di balik layar antara partai politik, kandidat, dan pemimpin lokal.

Sering kali, negosiasi ini terjadi di belakang layar, dan rincian perjanjian sering kali tidak dibagikan dengan publik secara terbuka.

Hal ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan dalam politik dan merongrong kepercayaan publik terhadap representasi politik.

Ketika pemilih merasa bahwa kontrak politik dilakukan di luar pengawasan mereka, hal ini dapat menyulitkan tercapainya demokrasi yang benar-benar transparan dan mewakili.

Kemudian, muncul pertanyaan apakah “kontrak politik” dapat dilihat sebagai sebuah kontrak yang sah dalam ranah hukum?

Apakah jenis kontrak ini memiliki keabsahan hukum dan dapat dianggap sebagai wanprestasi jika ternyata dilanggar di masa yang akan datang?

Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan apakah kontrak politik dapat dianggap sebagai kontrak dalam kaca mata hukum.

Ini termasuk apakah ada peraturan hukum yang mengikat, sejauh mana kesepakatan tersebut memiliki implikasi hukum, dan apakah ada mekanisme hukum yang memungkinkan tuntutan jika kesepakatan ini dilanggar.

Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi lembaga-lembaga demokratis dan partai politik untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik.

Hal ini mencakup mengungkapkan lebih banyak informasi tentang kontrak politik kepada publik, menjalani proses politik yang lebih terbuka, dan memastikan bahwa keputusan politik tidak hanya menguntungkan elite politik, tetapi juga mencerminkan kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, partisipasi aktif dan pengetahuan masyarakat tentang proses politik mereka adalah kunci untuk menjaga kontrak politik yang sejalan dengan kepentingan rakyat dan menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.

Konsumen politik, yaitu masyarakat, memiliki peran penting dalam memonitor kontrak politik dan memastikan bahwa perjanjian tersebut sesuai dengan harapan mereka untuk kesejahteraan dan perkembangan jangka panjang.

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang landasan motivasi dalam kontrak politik, pemilih dapat membuat keputusan yang lebih terinformasi pada saat pemilihan dan mengawasi pemimpin mereka untuk memastikan pemenuhan janji-janji jangka panjang yang telah dibuat dalam kontrak politik tersebut.***

Penulis: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP

banner 325x300