Oleh: Hendra J. Kede, S.T., S.H., M.H., GRCE, Mediator
Pemerhati Tata Kelola Organisasi berbasis GRC / Profesional Mediator / Ketua Dewas YLBH Catur Bhakti
Disclaimer: Tulisan ini murni merupakan opini hukum pribadi, tidak mewakili lembaga manapun, dan tidak ditujukan untuk menghakimi siapapun.
Setelah dua pihak yang lama bersengketa terkait keabsahan kepengurusan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Pusat) melakukan perdamaian melalui Kesepakatan Jakarta dan diikuti dengan menerbitkan Surat Keputusan pembentukan Steering Committee (SC) dan Organizing Committee (OC) Kongres Persatuan yang ditandatangani bersama, kembali mencuat saling klaim keabsahan dan saling menafikan keabsahan pihak satunya.
Tulisan ini dibuat untuk melihat dari sisi hukum, bagaimana status Kesepakatan Jakarta dan SK SC-OC Kongres Persatuan dan status hukum norma-norma yang ada di dalam kedua dokumen tersebut.
Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan umum, pasca pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) oleh sebagian Pengurus Pusat dan Pengurus Provinsi PWI pada Agustus 2024, secara de facto kepengurusan PWI Pusat ada dua kepengurusan.
Pertama adalah kepengurusan hasil Kongres XXV di Bandung (2023) di bawah kepemimpinan Hendry Ch Bangun sebagai Ketua Umum (Ketum) dan Iqbal Irsyad sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen).
Kedua adalah kepengurusan hasil KLB di Bandung (2024) di bawah kepemimpinan Zulmansyah Sekedang sebagai Ketum dan Wina Armada sebagai Sekjen.
Semenjak itu kedua kepengurusan saling klaim keabsahan dan saling menafikan keabsahan pihak satunya dengan tafsir hukum masing-masing terhadap peraturan perundang-undangan, Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD&PRT) PWI, status blokir SK AHU Perkumpulan PWI oleh Kementerian Hukum, tahapan proses hukum di kepolisian, dan putusan sengketa perdata di pengadilan. Yang mana semua itu merujuk kepada ketentuan umum (lex generalis).
Namun, pada tanggal 16 Mei 2025, Hendry Ch Bangun dan Zulmansyah Sekedang dengan mediator Dahlan Dahi (Anggota Dewan Pers) telah menyepakati dan membubuhkan tandatangan diatas materai cukup di atas dokumen yang mereka beri nama “Kesepakatan Jakarta”.
Kesepakatan Jakarta dimaksudkan menjadi dasar pelaksanaan Kongres Persatuan sebagai solusi atas adanya konflik kepengurusan PWI Pusat. Kongres Persatuan akan dilaksanakan paling lambat akhir Agustus 2025 di Jakarta.
Pada tanggal 11 Juni 2025, disepakati komposisi personalia Steering Committee (SC) dan Organizing Committee (OC) Kongres Persatuan yang berasal dari kedua kepengurusan secara bagi rata dengan satu orang pihak netral di SC yaitu Wakil Ketua Dewan Pers.
Kesepakatan tersebut dilanjutkan dengan penandatanganan surat keputusan penunjukan personalia SC dan OC oleh kedua kepengurusan di hadapan Ketua Dewan Pers, di kantor Dewan Pers.
Menarik mengamati SK penetapan personalia SC-OC Kongres Persatuan tersebut, yaitu:
- Surat keputusan tersebut dibuat di atas kertas dengan kop resmi PWI Pusat;
- Judulnya hanya: “Surat Keputusan PWI Pusat” tanpa embel-embel “Bersama”;
- Tentangnya: “Pembentukan Panitia Bersama Kongres Persatuan PWI Tahun 2025”;
- Diberi nomor SK dari masing-masinh kepengurusan yaitu Nomor: 150/PP-PWI/VI/2025 dan Nomor: 361-PLP/PP-PWI/VI/2025 dimana salah satu nomor SK dari pihak Kongres Bandung dan satu lagi nomor SK dari pihak KLB;
- Pengantar menuju konsideran hanya kalimat: “Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia”, tanpa embel-embel “Bersama” juga;
- Angka 1 konsideran MENIMBANG berbunyi : “Bahwa, sesuai Kesepakatan Bersama antara PWI hasil Kongres 2023-2028 dan PWI hasil Kongres Luar Biasa (KLB) tanggal 16 Mei 2025 di Jakarta……dst”
- Pada akhir SK dan halaman penandatangan berbunyi: “Persatuan Wartawan Indonesia, Pengurus Pusat” tanpa embel-embel “Bersama”, tanpa embel-embel “Kongres 2023-2028 dan KLB”;
- Ditandatangani oleh Hendry Ch Bangun dan Zulmansyah Sekedang dan di bawah nama mereka masing-masing tertulis “Ketua Umum”, serta ditandatangani Iqbal Irsyad dan Wina Armada dan di bawah nama mereka masing-masing tertulis “Sekretaris Jenderal”, dibubuhi tanda tangan basah, dan dibubuhi stempel basah PWI Pusat pula.
Analisis Hukum
Pertama. Kesepakatan Bersama Adalah Perbuatan Hukum yang Sah
Doktrin hukum perdata Indonesia menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (Pasal 1313 dan Pasal 1338 KUHPerdata):
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Ketentuan ini memberikan kejelasan hukum terkait Kesepakatan Jakarta dan SK Penetapan SC dan OC Bersama Kongres Persatuan dengan alasan:
- Merupakan perjanjian dua belah pihak yang sah. Hal ini memiliki implikasi terpenuhinya sah sebuah perjanjian.
- Perjanjian berupa Kesepakatan Jakarta dan SK SC-OC Kongres Bersama menciptakan norma baru bagi kedua belah pihak dan berlaku secara spesifik terhadap kedua kepengurusan PWI.
Kedua. Berlaku Timbal Balik, Bersifat Implisit, dan Formal
Implikasi hukum atas ditandatanganinya dokumen Kesepakatan Jakarta dan dilanjutkan dengan penandatanganan dokumen pembentukkan SC-OC Kongres Persatuan, maka di hadapan hukum masing-masing pihak secara implisit telah saling mengakui eksistensi dan kewenangan kedua belah pihak.
Hal demikian merupakan bentuk rekonsiliasi organisasi berdasarkan prinsip mutual recognition (pengakuan timbal balik). Suatu prinsip atau mekanisme di mana dua belah pihak sepakat untuk saling mengakui sebagai pihak yang sah.
Hal ini berarti Kesepakatan Jakarta dan SK SC-OC Kongres Persatuan merupakan dokumen saling mengakui eksistensi kepengurusan PWI Pusat hasil Kongres Bandung di bawah Ketua Umum Hendry Ch Bangun dan kepengurusan PWI Pusat hasil KLB di bawah Ketua Umum Zulmansyah Sekedang.
Ketiga. Daya Ikat Setara Undang Undang Internal Bagi Kedua Belah Pihak
Secara yuridis dan normatif ditandatanganinya Kesepakatan Jakarta dan SK SC-OC Kongres Persatuan dapat dimaknai secara hukum sebagai berikut:
- Berfungsi sebagai norma hukum internal yang mengikat kedua belah pihak;
- Tidak hanya berlaku sebagai norma hukum internal yang mengikat kedua belah pihak, lebih dari itu norma hukum tersebut berlaku sebagai lex specialis bagi kedua belah pihak;
- Karena berlaku sebagai lex specialis maka berlaku asas hukum “lex specialis derogat legi generali” yang berarti ketentuan hukum khusus (spesial) mengesampingkan ketentuan hukum umum;
- Ketentuan hukum umum dalam organisasi PWI adalah Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD&PRT), yang pada kenyataannya tidak mengatur situasi luar biasa seperti keadaan adanya dua kepengurusan secara de facto;
- Karena berstatus sebagai norma lex specialis maka norma-norma eksplisit dan implisit yang terdapat dalam Kesepakatan Jakarta dan SK SC-OC Kongres Persatuan mengesampingkan atau mengabaikan keberlakuan norma-norma umum yang ada dalam PD&PRT PWI serta semua norma yang terdapat dalam putusan pengadilan yang merujuk kepada norma umum sebelum norma lex specialis tersebut ada;
- Norma lex specialis yang terdapat dalam Kesepakatan Jakarta dan SK SC-OC Kongres Persatuan tidak bisa dibatalkan secara sepihak tanpa proses yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak.
Keempat. Implikasi Hukum Atas Pelanggaran
Setiap upaya untuk mengingkari atau meniadakan Kesepakatan Jakarta dan SK SC-OC Kongres Persatuan tanpa mekanisme formal (seperti kesepakatan bersama baru dan atau keputusan forum Kongres Bersama) dapat dikualifikasikan sebagai:
- Wanprestasi atau pelanggaran perjanjian dengan segala implikasi hukumnya;
- Pelanggaran tata kelola yang baik organisasi, khususnya terkait akuntabilitas, responsibilitas, transparansi, dan fairness;
- Memenuhi syarat jika ada pihak yang mengajukan gugatan perdata akibat kerugian yang diakibatkan oleh pembatalan tersebut.
Penutup
Kesepakatan Jakarta dan SK penetapan SC-OC Kongres Persatuan merupakan instrumen hukum yang sah dan mengikat kedua belah pihak dan berlaku selayaknya Undang Undang bagi kedua belah pihak, baik orang maupun kepengurusan.
Bagi PWI, keduanya berlaku sebagai kerangka formal rekonsiliasi dan sebagai dasar legal yang kuat untuk penyelenggaraan Kongres Persatuan. Hal ini karena keduanya dapat dipandang sebagai terobosan hukum akibat adanya kekosongan hukum dalam PD&PRT yang tidak mengatur situasi adanya dualisme kepengurusan secara de facto.
Setiap upaya untuk menafikan kesepakatan tersebut harus ditempuh melalui mekanisme organisasi yang sah dan tidak bisa dilakukan secara sepihak. Pengingkaran atas hal ini memiliki risiko hukum dan politik yang lebih besar.
Melalui ini saya mengimbau, mari kita bergandengan tangan bersama untuk mensukseskan Kongres Persatuan.
Dan mari sama-sama akhiri saling klaim keabsahan kepengurusan dan menafikan pihak.lain karena itu hanya akan menurunkan reputasi PWI, organisasi yang sangat kita cintai bersama ini, pasca telah disepakatinya terobosan hukum melalui Kesepakatan Jakarta dan Penerbitan SK SC-OC Kongres Persatuan.
Terima kasih