SUMATERADAILY.COM – Ancaman Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenai kemungkinan kenaikan tarif tambahan terhadap negara-negara yang belum menjalin kesepakatan dagang dengan AS menjadi alarm keras bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Dalam pernyataannya, Trump bahkan menyebut akan mengenakan tarif 10 persen terhadap negara yang dianggap menjalankan “kebijakan anti-Amerika,” termasuk beberapa anggota blok BRICS.
Menanggapi situasi tersebut, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menegaskan bahwa Indonesia harus memandang dinamika itu bukan hanya sebagai risiko, tetapi juga sebagai peluang untuk memperkuat strategi perdagangan sebagai elemen ketahanan nasional.
“Pernyataan keras semacam ini bukan pertama kali. Dalam sejarahnya, retorika semacam itu sering menjadi jalan menuju konsensus baru. Yang terpenting, Indonesia harus cermat membaca arah kebijakan, bukan sekadar reaktif pada ancaman tarif,” ujar Fakhrul, dalam keterangannya ke InfoPublik, Selasa (8/7/2025).
Fakhrul menilai, Indonesia berada dalam posisi yang unik karena bukan bagian dari negara anti-Amerika, namun tetap menjadi pemain penting dalam rantai pasok global, terutama di sektor mineral kritis dan energi bersih.
“AS membutuhkan Indonesia, mulai dari nikel untuk baterai kendaraan listrik, hingga diversifikasi rantai pasok dari Tiongkok. Di sisi lain, Indonesia juga sangat bergantung pada teknologi, gandum, dan pesawat dari AS. Ini artinya ada ketergantungan dua arah yang bisa dinegosiasikan secara cerdas,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa perdagangan global kini bukan lagi sekadar arena efisiensi atau kompetisi ekonomi, tetapi telah menjadi instrumen geopolitik.
“Kita tidak bisa lagi bicara perdagangan hanya dari sisi tarif rendah dan ekspor tinggi. Harus ada pendekatan baru yang menjadikan perdagangan sebagai instrumen ketahanan nasional,” tegasnya.
Fakhrul menyarankan pemerintah untuk: Mempercepat pengembangan industri substitusi impor, khususnya bahan baku esensial, Mendorong ekspansi sektor padat karya domestik sebagai buffer terhadap gangguan global, dan Menjaga daya beli rumah tangga sebagai benteng stabilitas ekonomi.
Dalam konteks perubahan tatanan global, Fakhrul mengajak para pembuat kebijakan untuk membangun narasi nasional baru. Bukan sekadar negara pengekspor komoditas mentah, tetapi sebagai negara dengan posisi tawar strategis di tengah perubahan arsitektur geopolitik dunia.
“Kita butuh strategi perdagangan yang memosisikan Indonesia sebagai kekuatan penyeimbang. Kita bukan follower, kita adalah pemain penting,” pungkasnya.
Di tengah ketidakpastian global dan munculnya perang dagang bergaya baru, Indonesia harus meninggalkan pendekatan konvensional dalam kebijakan perdagangannya. Ketahanan nasional kini tak hanya soal militer atau pangan, tapi juga daya tawar dalam sistem perdagangan global. ***
infopublik.id/