banner 728x250
OPINI  

Rojali dan Rohana di Mal : Cermin Perubahan Ekonomi dan Pola Konsumsi

Dr. Noviardi Ferzi, dan Akademisi

Oleh: Dr. Noviardi Ferzi*

ISTILAH “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya) yang kerap terdengar di pusat perbelanjaan, bukan sekadar candaan belaka.

banner 325x300

Fenomena ini sebenarnya mencerminkan kondisi ekonomi makro dan pergeseran perilaku konsumen Indonesia yang sedang mengalami transformasi mendalam.

Ramainya pengunjung di mal namun minimnya transaksi pembelian menandakan lemahnya daya beli masyarakat, yang semakin tertekan oleh pesatnya pertumbuhan belanja daring.

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengungkapkan bahwa daya beli masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah, menunjukkan tren penurunan.

Menariknya, kelompok menengah ke atas pun ikut membatasi konsumsi karena ketidakpastian ekonomi global yang berkelanjutan.

Hal ini sejalan dengan teori konsumsi dari Keynes (1936), yang menyebut bahwa tingkat konsumsi rumah tangga sangat dipengaruhi oleh pendapatan saat ini serta harapan terhadap kondisi ekonomi di masa depan.

Saat pendapatan riil mengalami penurunan atau saat ada kekhawatiran mengenai masa depan ekonomi, masyarakat cenderung menunda pengeluaran atau hanya mengalokasikannya untuk kebutuhan pokok.

Bahkan kelas menengah atas yang menyumbang hampir 70% konsumsi barang tahan lama dan mewah di Indonesia, saat ini cenderung mengalihkan pengeluarannya ke instrumen investasi seperti deposito, saham, SBN, emas digital, dan perhiasan sebagai upaya menjaga nilai aset dan memperoleh imbal hasil yang lebih pasti.

Kondisi ini juga dapat dianalisis melalui pendekatan teori pendapatan permanen (Friedman, 1957) dan teori siklus hidup (Modigliani & Brumberg, 1954), yang menyatakan bahwa konsumsi tidak hanya ditentukan oleh pendapatan saat ini, tetapi juga oleh proyeksi pendapatan sepanjang hidup seseorang.

Gejala Rojali bahkan telah terlihat sejak Ramadan 2024, dengan semakin menurunnya konsumsi yang berlanjut hingga setelah Idul Fitri 2025.

Walaupun jumlah pengunjung mal tetap tinggi, tren pembelian di sektor ritel tidak menunjukkan peningkatan yang sebanding.

Ini menguatkan asumsi bahwa pengunjung datang bukan untuk belanja, melainkan mencari hiburan, bersosialisasi, atau sekadar relaksasi. Setelah pandemi, kebutuhan masyarakat akan interaksi sosial tetap besar, namun alokasi pengeluaran mereka kini lebih banyak diarahkan ke sektor makanan dan minuman (F&B).

Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan mencatat bahwa sektor F&B justru mengalami pertumbuhan omzet sebesar 5% hingga 10% per bulan.

Hal ini dipicu oleh perilaku Rojali dan Rohana yang gemar berkeliling mal tanpa membeli barang, namun kemudian menghabiskan waktu dengan makan atau minum di tempat makan yang tersedia.

Selain itu, pertumbuhan e-commerce turut mempercepat perubahan ini.

Kemudahan akses, harga yang bersaing, serta beragamnya pilihan produk menjadikan platform belanja online semakin diminati.

Fenomena “showrooming”—di mana konsumen melihat-lihat produk secara langsung di toko lalu membelinya secara online karena lebih murah—menjadi semakin lazim.

Fenomena ini merupakan penerapan dari prinsip rasionalitas ekonomi, di mana konsumen berusaha memperoleh manfaat maksimal dengan harga dan kenyamanan terbaik.

Model bisnis e-commerce yang mengedepankan promosi menarik, diskon besar-besaran, dan pengiriman cepat telah mengubah perilaku belanja konsumen. Banyak yang datang ke toko fisik hanya untuk membandingkan produk, namun pembelian justru dilakukan melalui aplikasi atau situs online.

Data dari asosiasi e-commerce menunjukkan lonjakan nilai transaksi daring yang terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan menyentuh angka triliunan rupiah.

Ini menjadi bukti nyata bahwa masyarakat kini semakin selektif dan lebih memilih produk yang ekonomis serta efisien dari segi harga.

Fenomena Rojali sebenarnya bukan sekadar soal turunnya daya beli. Lebih dari itu, ia menandakan pergeseran fungsi pusat perbelanjaan, dari tempat jual-beli menjadi ruang publik multifungsi untuk rekreasi dan interaksi sosial.

Perubahan ini memberikan sinyal kuat bagi pelaku ritel dan pengelola pusat perbelanjaan untuk segera beradaptasi dengan model bisnis yang lebih fleksibel dan inovatif.

Mal kini tak lagi cukup hanya menjual barang, namun harus bertransformasi menjadi experiential retail, yaitu pusat pengalaman yang menggabungkan belanja dengan hiburan, seni, dan komunitas.

Studi oleh Chakraborty dan Srivastava (2020) menunjukkan bahwa toko fisik harus bisa menawarkan pengalaman yang tidak bisa ditiru secara digital.

Penelitian Verhoef et al. (2015) juga menekankan pentingnya membangun pengalaman konsumen yang menyeluruh dan bermakna.

Fenomena “window shopping” tanpa transaksi telah mendorong pelaku ritel untuk mengevaluasi ulang pendekatan mereka.

Mal harus diubah menjadi ruang yang menyenangkan dan imersif, dengan instalasi seni, ruang kerja bersama (co-working space), serta acara komunitas yang menarik perhatian, sebagaimana disarankan dalam laporan Deloitte (2020) dan artikel Forbes (2019).

Selain itu, penguatan pada sektor gaya hidup dan F&B menjadi sangat penting.

Studi CBRE (2021) dan JLL (2020) menegaskan bahwa sektor ini memiliki daya tarik tinggi dalam meningkatkan jumlah kunjungan sekaligus mendorong pengeluaran konsumen.

Integrasi kanal daring dan luring melalui model click-and-collect atau layanan pemesanan online dan pengambilan di toko, menjadi strategi efektif untuk menjembatani kenyamanan digital dengan pengalaman belanja fisik.

Konsumen sangat menghargai fleksibilitas ini, seperti yang ditemukan dalam laporan PwC (2019).

Lebih jauh, toko fisik juga perlu memberikan keunggulan yang tidak ditawarkan platform online—misalnya, layanan pelanggan yang unggul dan program loyalitas yang menarik, sebagaimana dijelaskan oleh Harvard Business Review (2020).

Sebagai penutup, Rojali dan Rohana bukan sekadar sindiran sosial, melainkan indikator penting akan perubahan besar dalam dinamika konsumsi, struktur ekonomi, dan pergeseran ritel ke era digital.

Oleh karena itu, sektor ritel fisik dituntut untuk cepat berinovasi dan menghadirkan nilai tambah yang tak sekadar berorientasi transaksi, tetapi menyuguhkan pengalaman menyeluruh agar tetap relevan di tengah perubahan zaman.

  • Penulis Seorang Pengamat dan Akademisi

Daftar Pustaka
Accenture. (2018). Retail Technology Vision.

CBRE. (2021). Global Retail Trends: Adapting to a New Era.

Chakraborty, L. R., & Srivastava, S. (2020). The impact of online shopping on offline retail stores: A review and research agenda. Journal of Retailing and Consumer Services, 54, 102021.

Deloitte. (2020). The future of the retail store: How to thrive in an experience economy.

Forbes. (2019). The Rise of Experiential Retail: Why Brands Are Investing In Immersive Experiences.

Friedman, M. (1957). A Theory of the Consumption Function. Princeton University Press.

Harvard Business Review. (2020). The New Rules of Retail.

JLL. (2020). The Future of Retail Spaces.

Keynes, J. M. (1936). The General Theory of Employment, Interest and Money. Macmillan.

Modigliani, F., & Brumberg, R. (1954). Utility analysis and the consumption function: An interpretation of cross-section data. In K. K. Kurihara (Ed.), Post-Keynesian Economics (pp. 388-436). Rutgers University Press.

PwC. (2019). Experience is everything: Here’s how to get it right.

Retail Dive. (2021). How data analytics is shaping the future of retail.

Verhoef, P. C., Lemon, K. N., Parasuraman, A., Roggeveen, A. L., Tsiros, M., & Schlesinger, L. (2015). Customer Experience Creation: Determinants, Dynamics and Management Strategies. Journal of Retailing, 91(1), 15-31.

banner 325x300
banner 325x300