TKA Sebagai Sarana Menumbuhkan Tanggung Jawab Belajar
Penulis : Aflah Hatur Aufa
Sistem pendidikan Indonesia memerlukan alat ukur yang mampu menilai kemampuan siswa secara adil. Tes Kemampuan Akademik (TKA) muncul sebagai jawaban atas kebutuhan tersebut. Secara yuridis, historis, filosofis, dan sosiologis, TKA penting karena mengoreksi ketimpangan evaluasi pendidikan yang selama ini bergantung pada rapor sekolah.
TKA bukan sekadar alat ukur, melainkan bagian dari upaya untuk membangun kepercayaan terhadap sistem evaluasi capaian belajar yang selama ini terasa timpang antar-sekolah. Selama ini, seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baik antarsekolah maupun perguruan tinggi, cenderung hanya mengandalkan nilai rapor. Padahal, nilai rapor sekolah tidak selalu bisa dibandingkan secara adil antar-satuan pendidikan. Nilai 90 di satu sekolah bisa sangat berbeda maknanya dengan nilai serupa di sekolah lain.
TKA hadir menjawab tantangan ini. Dengan instrumen tes nasional yang terstandar, hasil TKA memberikan gambaran yang lebih objektif tentang kemampuan siswa. Ia juga menjadi instrumen pengendali mutu yang mendorong perbaikan berkelanjutan di tingkat satuan pendidikan.
Data Kementerian Pendidikan mencatat bahwa disparitas nilai antarwilayah bisa mencapai 15–20 poin pada skala 100. Dengan TKA, disparitas ini dapat ditekan. Artinya, siswa dari sekolah di pelosok memiliki kesempatan yang sama dengan siswa di kota besar untuk menunjukkan potensinya.
Lebih jauh, TKA membantu menumbuhkan tanggung jawab belajar pada siswa. Mereka tidak bisa lagi hanya bergantung pada penilaian rapor yang bersifat lokal, tetapi dituntut mempersiapkan diri untuk menghadapi standar nasional. Hal ini mendorong mereka lebih disiplin, terukur, dan menyadari pentingnya belajar yang konsisten.
Kolaborasi Pusat dan Daerah dalam Membangun Rasa Memiliki
Pendidikan bukan tanggung jawab satu pihak, melainkan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh stakeholder pendidikan. Karena itu, keberlanjutan dan partisipasi lintas sektor mutlak diperlukan.
Aspek positif lain dari kebijakan TKA adalah pendekatan kolaboratifnya. Pada tingkat SMA/SMK, seluruh soal disusun kementerian. Namun, untuk SD dan SMP, pemerintah pusat berbagi peran dengan pemerintah daerah. Ini bukan semata teknis pembuatan soal ujian, melainkan juga upaya untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam menyelenggarakan evaluasi pendidikan yang bermutu.
Kolaborasi ini sangat penting karena menumbuhkan rasa memiliki bersama terhadap kebijakan. Dalam era desentralisasi, dominasi pusat sering menimbulkan resistensi di daerah. Dengan dilibatkan langsung, pemerintah daerah tidak merasa hanya menjalankan program pusat, melainkan menjadi bagian dari proses perancangan. Pada saat yang sama, perspektif lokal memperkaya instrumen TKA sehingga lebih inklusif dan sesuai konteks.
Data Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan bahwa angka partisipasi murni (APM) SMA/SMK nasional adalah 69,5%, sementara di beberapa daerah 3T masih di bawah 55%. Dengan adanya TKA, siswa dari daerah tertinggal tetap dapat bersaing karena tolok ukurnya sama. Hal ini memperlihatkan bahwa TKA berperan membuka peluang yang adil, sekaligus menumbuhkan tanggung jawab pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di wilayahnya.
Bagi sekolah, kolaborasi ini juga menumbuhkan kesadaran bahwa kualitas evaluasi bukan hanya urusan internal. Hasil TKA yang dapat dibandingkan antar-sekolah menjadi cermin tanggung jawab institusi. Sekolah dengan nilai TKA konsisten terhadap hasil ujian internal dapat merasa percaya diri. Sebaliknya, jika terjadi kesenjangan besar, itu menjadi alarm untuk memperbaiki mutu pembelajaran.
TKA sebagai Katalis Perubahan Budaya Belajar
Selain berfungsi sebagai instrumen evaluasi dan kolaborasi, TKA juga selaras dengan kebijakan strategis pemerintah. Adapun kisi-kisinya mencakup: (1) dasar filosofis, yuridis, historis, dan sosiologis pentingnya evaluasi, (2) keberlanjutan partisipasi stakeholder, serta (3) program prioritas Kemendikdasmen dalam percepatan mutu pendidikan.
Program prioritas yang mendukung TKA meliputi peningkatan kualitas guru, digitalisasi sekolah, dan penguatan asesmen. Data Kemendikdasmen mencatat bahwa lebih dari 60% sekolah menengah sudah terkoneksi dengan platform digital, dengan target 90% pada 2027. Format TKA berbasis komputer sangat relevan dengan arah kebijakan ini.
Namun, yang paling penting adalah bagaimana TKA menjadi katalis perubahan budaya belajar. Data Kemendikbudristek tahun 2023 menunjukkan 67% siswa SMA/SMK masih mengandalkan hafalan, sementara hanya 33% yang terbiasa dengan soal berbasis penalaran. Dengan TKA yang mengedepankan literasi dan numerasi, siswa dituntut untuk lebih kritis, adaptif, dan analitis.
Lebih dari itu, TKA membantu membangun tanggung jawab belajar secara kolektif. Siswa didorong belajar lebih serius, guru dituntut lebih jujur dalam menilai, dan pemerintah wajib menyediakan akses yang adil. Jika semua pihak memegang perannya, TKA benar-benar bisa menjadi sarana perubahan.
Tentu saja, berbagai kekhawatiran publik tetap relevan. Salah satunya adalah potensi TKA dianggap sebagai “Ujian Nasional” baru. Karena itu, komunikasi publik yang konsisten sangat penting. Penjelasan bahwa TKA tidak bersifat wajib dan tidak menentukan kelulusan harus terus disampaikan.
Kekhawatiran lain adalah potensi ketimpangan akses. Murid dengan fasilitas lengkap jelas lebih siap dibandingkan mereka yang terbatas. Untuk itu, pemerintah perlu menyediakan dukungan, seperti bank soal gratis, pelatihan guru, dan infrastruktur digital merata. Dengan langkah tersebut, TKA benar-benar menjadi instrumen keadilan.
Dalam empat tahun terakhir, sistem pendidikan kita sudah berjalan dengan dua instrumen: Asesmen Nasional yang memotret kinerja makro, dan penilaian guru untuk capaian mikro. TKA hadir bukan untuk menggantikan, melainkan melengkapi keduanya. Ia menjadi penghubung skala individu dengan sistem nasional.
Penutup
Ketika ditempatkan secara bijak, TKA adalah sarana menumbuhkan tanggung jawab belajar bagi semua pihak. Siswa didorong lebih disiplin dan siap menghadapi standar nasional. Guru dan sekolah terdorong menjaga integritas penilaian. Pemerintah pusat dan daerah belajar berkolaborasi secara lebih setara.
Dengan standar nasional yang objektif, TKA mampu memperlihatkan potensi siswa dari berbagai pelosok negeri. Dengan pendekatan kolaboratif, ia memperkuat rasa memiliki bersama terhadap kebijakan. Dengan desain soal yang mendorong penalaran, ia membantu menggeser budaya belajar ke arah yang lebih kritis dan analitis.
Jika dijalankan dengan komunikasi publik yang jernih, dukungan teknologi yang merata, dan keberlanjutan program strategis, TKA akan menjadi instrumen penting dalam mencetak generasi unggul.
***
Aflah Hatur Aufa adalah
Pengamat Ekonomi dan Pendidikan Bayumas Raya