Oleh : Muhamad Naufal Fauzan (*)
Meskipun transaksi digital terjadi dalam hitungan detik, ada pertanyaan mendasar di balik kecepatan itu: bagaimana memastikan bahwa setiap transfer, klik, dan kontrak virtual tetap sesuai dengan hukum? Fiqih muamalah menghadapi tantangan baru di era di mana firewall melindungi data sementara fatwa membingkai nilai.
Tantangannya nyata adalah bahwa perjanjian tanpa tatap muka menggantikan ijab-qabul verbal, algoritma mengambil alih pengambilan keputusan manusia, dan aset digital yang abstrak mengaburkan batas kepemilikan. Pakar ekonomi syariah UI Dr. Amin Luthfi mengingatkan, “Fiqih muamalah bagai peta, sedangkan IT adalah kota yang terus melebar. Peta tak usang ia butuh pembacaan baru.”
Di tengah kekacauan ini, tanggapan ulama modern benar-benar membawa semangat baru. Melalui Fatwa Nomor 140/2021, lembaga seperti DSN-MUI telah mengakui tanda tangan digital dan OTP sebagai pengganti saksi fisik.
Maslahah mursalah menjadi jembatan bagi teknologi yang belum terbayang di era klasik, sementara prinsip hawalah (pengalihan utang) dihidupkan kembali untuk memungkinkan transfer dana melalui internet.
Terobosan dalam teknologi ini bukan hanya percakapan; contohnya adalah LinkAja Syariah, yang memasukkan fitur zakat otomatis, dan Blossom Finance di Amerika Serikat, yang menggabungkan blockchain dengan akad mudharabah untuk menurunkan biaya administrasi 30%.
Selain itu, kerja sama antara dunia teknologi dan fiqih mulai berkembang. Bagaimana membuat algoritma yang mengadopsi prinsip keadilan, anti-riba, dan transparansi menggunakan konsep Sharia by Design? Aplikasi e-commerce yang otomatis memotong zakat fitrah saat Anda membayar adalah contohnya.
Komite etik hibrid, yang terdiri dari ulama muamalah, data scientist, dan regulator, bekerja di balik layar untuk memastikan setiap inovasi dihasilkan dengan “DNA syariah”. Komite ini bekerja dalam sandbox khusus seperti model OJK.
Sangat penting untuk literasi ganda: aktivis syariah diminta untuk memahami bahasa teknis seperti API dan smart contract, sementara pengembang Muslim diminta untuk memahami dasar-dasar fiqih.
Kisah keberhasilan Ethis Singapura menunjukkan bahwa kerja sama ini tidak mustahil. Platform properti syariah ini telah mendanai lebih dari lima ratus proyek perumahan rakyat dengan akad musyarakah, memberikan return 7-9% per tahun.
Bank digital syariah pertama di Indonesia, Hijra Bank, menunjukkan kekuatan integrasi dengan dashboard zakat real-time dan fitur AI yang mendeteksi transaksi haram. kunci kesuksesan? Fajrin Rasyid, co-founder Hijra Bank, menyatakan bahwa Dewan Syariah dan tim IT berkumpul setiap pekan.
Namun, gelombang berikutnya sudah ada di depan mata: perdagangan di metaverse, konsultan keuangan berbasis kecerdasan buatan, dan uang digital bank sentral (CBDC).
Untuk mengatasi masalah ini, kita membutuhkan kolaborasi. Para pengembang disarankan untuk mengintegrasikan etika ke dalam produk mereka sebagai “pengalaman pengguna” daripada hanya mematuhi.
Ulama diminta untuk memasukkan ide-ide klasik seperti ikhtiyar, yang berarti kebebasan, ke dalam logika digital. Sangat sulit bagi regulator untuk membuat kebijakan yang mempertahankan nilai syariah tanpa menghentikan kemajuan.
(*) Penulis adalah Mahasiswa STMIK Tazkia Bogor Jurusan Sistem Informasi Semester 2