banner 728x250
OPINI  

Ariyah dan Hiwalah dalam Era Teknologi Digital: Aktualisasi Fikih dalam Masyarakat Modern

Ariyah dan Hiwalah dalam Era Teknologi Digital: Aktualisasi Fikih dalam Masyarakat Modern

Penulis : Gema Syahdan Prasetyo

banner 325x300

Di tengah kemajuan teknologi yang mengubah wajah peradaban manusia, nilai-nilai Islam tetap relevan untuk menjadi rujukan etika dan solusi praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dua konsep dalam fikih muamalah klasik yang menarik untuk dikaji ulang dalam konteks ini adalah ariyah dan hiwalah. Keduanya bukan hanya warisan hukum Islam masa lampau, tetapi juga memiliki potensi besar untuk diaktualisasikan dalam era digital, terutama di tengah berkembangnya ekonomi berbasis platform, keuangan digital, dan budaya berbagi (sharing economy).

Ariyah dan Hiwalah: Konsep Dasar dalam Fikih Muamalah

Dalam literatur fikih, ariyah adalah akad pinjam-meminjam barang secara cuma-cuma, tanpa imbalan dan tidak mengubah kepemilikan. Artinya, barang yang dipinjam bisa digunakan sementara oleh peminjam, tetapi tetap harus dikembalikan kepada pemiliknya dalam kondisi semula atau sesuai kesepakatan. Praktik ariyah umum terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya meminjamkan kendaraan, alat pertukangan, atau bahkan pakaian.

Sementara itu, hiwalah adalah pengalihan kewajiban utang dari satu pihak ke pihak lain. Misalnya, seseorang yang memiliki utang kepada orang lain dapat mengalihkan tanggung jawab membayar kepada pihak ketiga, dengan syarat semua pihak menyetujui. Konsep ini menjunjung tinggi asas kerelaan, keadilan, dan keterbukaan antarpihak.

Meskipun terdengar sederhana, kedua konsep ini memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Ariyah mendorong sikap saling tolong-menolong tanpa pamrih, sedangkan hiwalah memperkenalkan solusi dalam menyelesaikan tanggungan finansial tanpa membebani satu pihak secara berlebihan. Nilai-nilai inilah yang sangat dibutuhkan dalam era modern yang penuh tantangan dan kompetisi.

Transformasi dalam Era Digital

Teknologi digital telah mengubah cara manusia berinteraksi, bertransaksi, dan berbagi sumber daya. Dalam hal ini, prinsip-prinsip ariyah dan hiwalah mendapatkan bentuk baru yang menarik.

1. Ariyah dan Budaya Berbagi Digital

Kehadiran platform sharing economy seperti peminjaman kendaraan, alat rumah tangga, hingga gadget membuka ruang baru bagi praktik ariyah versi modern. Meskipun sebagian besar platform bersifat komersial, terdapat pula komunitas daring atau aplikasi berbasis sosial yang memungkinkan peminjaman barang tanpa biaya — baik antar tetangga, komunitas masjid, atau relawan kemanusiaan.

Contohnya, aplikasi lokal yang memungkinkan warga dalam satu wilayah untuk meminjamkan kursi roda, tenda, atau alat kebersihan kepada warga lain secara gratis. Ini adalah bentuk aktualisasi ariyah yang sangat kontekstual dan bermanfaat, terutama bagi masyarakat yang ingin membangun solidaritas sosial.

2. Hiwalah dalam Sistem Keuangan Digital

Di sisi lain, perkembangan fintech (teknologi finansial) juga membuka peluang implementasi prinsip hiwalah. Dalam sistem pembayaran digital, utang atau kewajiban pembayaran bisa dialihkan kepada pihak ketiga melalui persetujuan digital yang jelas dan transparan.

Contoh sederhananya: seseorang yang berutang pada sebuah toko online dapat mengalihkan pembayaran kepada temannya melalui sistem dompet digital, tentu dengan kesepakatan dan pencatatan yang sah. Lebih canggih lagi, teknologi smart contract pada blockchain memungkinkan pengalihan utang secara otomatis dengan kondisi yang telah diprogram sebelumnya. Ini bisa menjadi terobosan besar dalam menghadirkan sistem keuangan syariah yang berbasis teknologi tinggi.

Nilai Sosial dalam Teknologi

Yang perlu ditekankan, penerapan ariyah dan hiwalah bukan sekadar soal hukum atau sistem, tetapi tentang nilai. Keduanya menekankan prinsip kepercayaan, tanggung jawab, dan tolong-menolong — sesuatu yang sering kali terpinggirkan dalam dunia digital yang serba instan dan kompetitif.

Di tengah maraknya budaya konsumtif dan kepemilikan pribadi, konsep ariyah mengajarkan bahwa tidak semua kebutuhan harus dimiliki; sebagian bisa dipinjam dan dibagi. Ini sejalan dengan semangat ekonomi sirkular dan berkelanjutan. Di sisi lain, hiwalah dapat menjadi solusi kemanusiaan dalam menangani utang, terutama dalam situasi darurat atau krisis finansial, tanpa menjebak seseorang dalam lingkaran utang yang tak berkesudahan.

Tantangan Implementasi

Tentu, aktualisasi kedua konsep ini di era digital tidak bebas tantangan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:

  • Aspek legalitas dan pengakuan hukum positif. Apakah akad digital dianggap sah secara hukum dan sesuai syariat?
  • Keamanan dan kepercayaan digital. Dalam transaksi daring, validasi identitas dan perlindungan data menjadi sangat penting agar tidak terjadi penipuan atau pelanggaran.
  • Pemahaman masyarakat. Banyak orang belum mengenal konsep ariyah dan hiwalah, apalagi dalam bentuk digital. Dibutuhkan edukasi yang masif dan berkelanjutan.

Namun, tantangan tersebut bukanlah hambatan permanen, melainkan peluang untuk merancang sistem sosial dan keuangan digital yang lebih manusiawi, etis, dan sesuai nilai-nilai Islam.

Solusi dan Rekomendasi

Untuk mewujudkan potensi besar ini, dibutuhkan kolaborasi lintas sektor:

  1. Pemerintah dan regulator perlu mengembangkan regulasi yang mengakomodasi akad-akad syariah berbasis digital, termasuk pengakuan terhadap transaksi non-komersial seperti ariyah.
  2. Startup dan pengembang teknologi perlu berinovasi menciptakan platform berbasis syariah, dengan model transaksi yang mendorong tolong-menolong dan solidaritas sosial, bukan semata keuntungan.
  3. Lembaga pendidikan Islam perlu mulai mengajarkan aktualisasi fikih klasik dalam konteks digital, agar generasi muda tidak gagap menghadapi transformasi zaman.
  4. Ulama dan akademisi perlu aktif memberikan fatwa dan panduan praktis mengenai implementasi akad muamalah dalam sistem digital.

Penutup

Ariyah dan hiwalah adalah dua konsep fikih yang membuktikan bahwa ajaran Islam tidak ketinggalan zaman, justru memiliki fleksibilitas dan daya adaptasi luar biasa. Dengan memadukan nilai-nilai Islam dan teknologi, kita bisa membangun masyarakat digital yang adil, inklusif, dan beradab.

Tantangan zaman modern justru membuka ruang bagi umat Islam untuk menjadi pelopor peradaban baru yang berbasis pada etika, solidaritas, dan kebermanfaatan. Maka, jangan hanya jadi pengguna teknologi—jadilah penggerak nilai dalam dunia digital.

***

Gema Syahdan Prasetyo adalah
Mahasiswa Semester 2 Jurusan Sistem Informasi
STIMIK Tazkia Bogor

banner 325x300
banner 325x300