Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M.AP – Akademisi UIN STS Jambi
Infrastruktur Hilirisasi: Kunci Masa Depan Komoditas Jambi
Provinsi Jambi bukan hanya dianugerahi kekayaan alam yang melimpah, tetapi juga posisi geografis yang strategis dalam konektivitas ekonomi Sumatra.
Di atas tanahnya tumbuh subur komoditas unggulan seperti kelapa sawit, karet, kelapa, kopi, coklat dan pinang yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja.
Di bawah perut buminya, terpendam cadangan batubara dalam jumlah besar yang menjadikan Jambi sebagai kontributor signifikan dalam penyediaan energi nasional.
Namun demikian, kekayaan ini belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi kemakmuran yang berkelanjutan.
Jambi masih terjebak dalam paradoks daerah penghasil: ekspor bahan mentah, impor barang jadi, dan menyaksikan nilai tambah dinikmati oleh daerah atau negara lain.
Di sinilah urgensi hilirisasi muncul sebagai solusi strategis. Hilirisasi bukan sekadar pilihan kebijakan, melainkan keniscayaan dalam menjawab stagnasi ekonomi berbasis ekstraksi.
Namun, hilirisasi tidak bisa berdiri sendiri. Upaya ini memerlukan prasyarat utama yang menjadi fondasi: infrastruktur yang bukan sekadar fisik, tetapi juga mencakup sistem logistik, energi, konektivitas digital, kelembagaan, dan sumber daya manusia.
Potensi Komoditas dan Nilai Tambah yang Belum Optimal
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2023, Jambi memiliki lebih dari 1 juta hektare lahan sawit dengan produksi CPO sekitar 3,7 juta ton. Produksi karet mencapai 553.823 ton dari lebih 600 ribu hektare lahan. Sementara batubara tetap menjadi primadona ekspor dengan capaian 11,5 juta ton per tahun.
Komoditas kelapa dan pinang di wilayah pesisir seperti Tanjung Jabung Barat juga menunjukkan tren positif, dengan luas lahan kelapa lebih dari 60 ribu hektare dan pinang mencapai 19.217 hektare yang sebagian besar diekspor ke India dan Timur Tengah.
Selain itu, komoditas perkebunan seperti kopi dan coklat turut memperkuat struktur agrikultur Jambi, terutama di wilayah dataran tinggi seperti Kerinci dan Merangin, meskipun kontribusinya terhadap ekspor masih relatif kecil dibandingkan komoditas utama lainnya (opendata.jambiprov.go.id.).
Namun sebagian besar dari kekayaan ini masih dijual dalam bentuk bahan mentah, dengan minimnya fasilitas pengolahan lanjutan di dalam wilayah Jambi.
Kondisi ini membuat multiplier effect ekonomi daerah sangat terbatas, memperlebar kesenjangan antara potensi dan realisasi kesejahteraan masyarakat.
Kesenjangan Infrastruktur: Realitas Hambatan Hilirisasi
Gagasan hilirisasi tidak akan berjalan tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Jalan produksi, pelabuhan ekspor, kawasan industri, jaringan listrik dan air baku, hingga infrastruktur digital adalah elemen vital.
Saat ini, dari total 1.270 km jalan provinsi, hanya sekitar 68 persen dalam kondisi mantap (Dinas PUPR Provinsi Jambi, 2024). Kondisi jalan yang belum optimal berdampak langsung pada biaya logistik, keterlambatan distribusi, dan rendahnya efisiensi produksi sektor hilir.
Gubernur Jambi, Dr. H. Al Haris, S.Sos., M.H., dalam sidang DPRD pada 29 Juli 2025 menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Jambi dalam satu tahun terakhir dan beberapa tahun ke depan mengutamakan pembangunan infrastruktur ke sentra-sentra produksi unggulan di kabupaten/kota.
Strategi ini diambil sebagai respons terhadap keterbatasan anggaran, dengan prioritas infrastruktur pada sektor pertanian, perkebunan, industri, dan kawasan perkotaan yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.
Langkah konkret Pemprov terlihat dari dorongan terhadap pengembangan Pelabuhan Ujung Jabung sebagai gerbang ekspor baru, serta Kawasan Industri Kemingking di Muaro Jambi yang dirancang sebagai simpul pengolahan kelapa sawit, karet, kelapa, pinang, dan batubara.
Namun, pasokan listrik menjadi hambatan serius. Kebutuhan energi kawasan industri diperkirakan mencapai 250 MW, sementara kapasitas terpasang baru sekitar 150 MW (PLN UID S2JB, 2023). Keterbatasan ini perlu segera diatasi melalui sinergi lintas sektor dan investasi infrastruktur energi.
Inisiatif Kawasan Industri & Hambatan Energi
Komitmen Provinsi Jambi dalam mendorong hilirisasi komoditas tercermin jelas dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2023–2043, yang menetapkan lima kawasan industri strategis: Ujung Jabung (4.445 hektare), Kemingking (2.639 hektare), Muara Sabak Barat, Lontar Papuyu, dan Taman Rajo. Secara spasial, kawasan-kawasan ini dirancang saling terhubung, membentuk jejaring ekonomi berbasis sumber daya unggulan.
Ujung Jabung diproyeksikan menjadi pusat logistik berbasis pelabuhan samudera, sementara Kemingking disiapkan sebagai sentra hilirisasi industri yang terintegrasi dengan simpul tol dan kedekatannya dengan Kota Jambi.
Namun demikian, terdapat kesenjangan yang signifikan antara rencana di atas kertas dan realisasi di lapangan. Banyak fasilitas dasar seperti jalan kolektor primer, pelabuhan pengumpul, dan jaringan transmisi listrik dan pengolahan limbah B3 masih dalam tahap perencanaan jangka menengah.
Selain itu, persoalan klasik seperti status lahan yang belum tuntas, tumpang tindih peruntukan ruang, serta potensi konflik sosial akibat minimnya partisipasi masyarakat lokal menjadi ancaman laten yang perlu diantisipasi sejak dini.
Salah satu isu krusial adalah konektivitas antarwilayah, yang menjadi prasyarat mutlak bagi berfungsinya kawasan industri. Rencana pembangunan jalan tol Jambi–Rengat dan jalur kereta logistik Muaro Jambi–Ujung Jabung merupakan inisiatif strategis yang perlu segera direalisasikan.
Tanpa dukungan infrastruktur konektivitas yang solid, efisiensi logistik akan terganggu, dan daya saing kawasan industri terancam stagnan.
Pengembangan Pelabuhan Ujung Jabung dan Kawasan Industri Kemingking diharapkan dapat menjadi katalis hilirisasi komoditas unggulan Jambi, mulai dari kelapa sawit, karet, kelapa, pinang, hingga batubara ke dalam industri bernilai tambah tinggi.
Namun hambatan tak hanya bersifat spasial dan legal-formal; persoalan energi juga menjadi tantangan utama. Kebutuhan daya kawasan industri diperkirakan mencapai 250 megawatt (MW), sementara pasokan listrik aktual di wilayah ini baru berkisar 150 MW, sebuah defisit yang menghambat masuknya investasi hilir secara signifikan (opendata.jambiprov.go.id).
Padahal secara agregat, PLN Unit Induk Distribusi Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu (UID S2JB) mencatatkan kapasitas daya sebesar 3.673 MW pada pertengahan 2025, dengan beban puncak siang hari sekitar 1.247 MW, malam hari 1.537 MW, dan cadangan daya mencapai 1.137 MW (antaranews.com).
Sayangnya, distribusi daya masih belum merata dan belum diarahkan secara prioritas untuk mendukung kawasan industri yang sedang tumbuh. Namun pengembangan kawasan industri tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosial dan ekologis yang menyertainya.
Rencana Spasial dan Tantangan Implementasi
Transformasi hilirisasi membutuhkan SDM yang adaptif dan siap menghadapi tantangan industrialisasi modern. Namun hingga kini, belum tampak adanya strategi komprehensif dalam membangun politeknik industri, balai latihan kerja (BLK), atau pendidikan vokasi yang terintegrasi dengan kebutuhan kawasan industri.
Tanpa langkah konkret dalam menyiapkan tenaga kerja lokal, kawasan industri berisiko menjadi enclave ekonomi, yaitu kawasan industri yang tumbuh tertutup dan tidak menyatu dengan lingkungan sosial-ekonomi sekitarnya, sehingga manfaatnya tidak dirasakan langsung oleh masyarakat lokal. Menyerap tenaga kerja dari luar, tanpa memberi dampak signifikan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat setempat.
Di sisi lain, dampak ekologis dari industrialisasi perlu menjadi perhatian serius. Kawasan seperti Taman Rajo dan Kemingking memiliki sensitivitas tinggi terhadap lingkungan karena berdekatan dengan aliran sungai utama dan jalur pipa energi.
Tanpa dokumen AMDAL yang ketat dan pengawasan independen yang kredibel, biaya sosial dan lingkungan dari proses hilirisasi dapat melampaui manfaat ekonominya.
RTRW Provinsi Jambi 2023–2043 telah menetapkan lima kawasan industri strategis:
- Ujung Jabung (~4.445 Ha)
- Kemingking (~2.639 Ha)
- Muara Sabak Barat (~1.407 Ha)
- Lontar Papuyu
- Taman Rajo
Kondisi ini menunjukkan bahwa hilirisasi tidak bisa berdiri sendiri sebagai agenda pembangunan. Ia memerlukan sinergi lintas sektor, keterpaduan antara perencanaan spasial dan kebijakan energi, serta komitmen nyata dalam menuntaskan hambatan dasar yang selama ini menghambat transformasi struktural ekonomi daerah.
Dalam konteks Jambi, keberhasilan industrialisasi tidak hanya ditentukan oleh luas lahan atau peta kawasan industri, tetapi juga oleh keberanian dalam mengeksekusi kebijakan secara progresif dan inklusif.
Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang tak kalah penting adalah memastikan bahwa pembangunan infrastruktur disertai dengan tata kelola yang solid, penyediaan SDM yang kompeten, serta keberpihakan terhadap masyarakat lokal.
Kawasan industri yang tumbuh seharusnya tidak menjadi enclave, melainkan menjadi jantung pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Dari sinilah, hilirisasi tak lagi menjadi sekadar slogan, melainkan menjadi jalan konkret bagi Jambi untuk naik kelas dari produsen bahan mentah menjadi pusat produksi bernilai tambah tinggi di Sumatra dengan fondasi infrastruktur yang kokoh, terhubung, dan siap menghadapi masa depan.
Hilirisasi Membumi, Bukan Sekadar Di Atas Kertas
Jambi berada pada titik kritis transformasi ekonomi. Visi hilirisasi yang tercermin dalam dokumen RPJMD dan RTRW harus dibumikan melalui langkah konkret: percepatan pembangunan infrastruktur dasar, penyelesaian status lahan, penyiapan SDM lokal, serta integrasi antara investasi dan keberlanjutan lingkungan.
Pembangunan kawasan industri tidak boleh hanya menjadi proyek fisik, tetapi harus menjadi katalis perubahan struktural ekonomi rakyat. Dengan tata kelola yang progresif dan inklusif, Jambi berpeluang besar naik kelas bukan sekadar sebagai lumbung komoditas mentah, tapi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis nilai tambah dan daya saing berkelanjutan.
Hilirisasi bukan hanya strategi pembangunan, tetapi fondasi kemandirian ekonomi alternatif dari ekspor mentah. Keberhasilannya sangat bergantung pada:
- Percepatan infrastruktur logistik dan energi
- Penyelesaian status lahan secara adil
- Keterlibatan masyarakat dan pelaku lokal
- Peningkatan SDM berbasis kebutuhan wilayah
- Tata kelola ekologis yang transparan dan inklusif
Dengan komitmen politik yang kuat dan sinergi lintas sektor, Jambi memiliki peluang besar untuk bertransformasi: bukan lagi sebagai lumbung bahan mentah, tetapi sebagai pusat ekonomi hijau bernilai tambah, inklusif, dan berkelanjutan.