banner 728x250
OPINI  

Dari SDA ke SDM dan Nilai Tambah: Saatnya Hilirisasi Menjadi Prioritas

Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP – Akademisi UIN STS Jambi

Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP – Akademisi UIN STS Jambi

TRASFORMASI ekonomi berbasis hilirisasi kini menjadi agenda utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.

banner 325x300

Melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 yang dirilis pada 10 Februari 2025, pemerintah menetapkan hilirisasi industri berbasis sumber daya alam (SDA) sebagai salah satu dari delapan prioritas nasional pembangunan (Bappenas, 2025).

Arah kebijakan ini bukan hanya mencerminkan perubahan pendekatan pembangunan, melainkan juga menjadi pijakan menuju visi Indonesia Emas 2045, yang menekankan nilai tambah, daya saing, dan industrialisasi berkelanjutan.

Delapan misi strategis (Asta Cita) yang menjadi dasar RPJMN menjadi kerangka konsolidasi transformasi struktural lintas wilayah, termasuk Pulau Sumatera.

Kajian teknis Bappenas menegaskan bahwa hilirisasi pada komoditas unggulan seperti sawit, nikel, dan karet bukan sekadar strategi ekonomi, tetapi instrumen pembangunan untuk menciptakan nilai tambah domestik, memperluas lapangan kerja berkualitas, serta memperkuat struktur fiskal daerah dan nasional (Indef, 2024).

Dalam konteks ini, Provinsi Jambi memegang posisi strategis di kawasan regional Sumatera. Di tengah dominasi Sumatera Utara dan Riau, Jambi menampilkan struktur ekonomi berbasis SDA yang kuat, namun menghadapi tantangan besar dalam mengubah potensi tersebut menjadi kekuatan industri yang produktif dan bernilai tambah tinggi.

Berdasarkan publikasi resmi Badan Pusat Statistik (BPS, 2025), Jambi berkontribusi sebesar 6,53% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumatera, dengan laju pertumbuhan ekonomi year-on-year (Y-on-Y) mencapai 4,55% pada Triwulan I 2025.

Meski berada di bawah Sumatera Utara (23,57%) dan Riau (23,33%), capaian ini menempatkan Jambi sejajar dengan Sumatera Barat (6,86%) dan Kepulauan Riau (7,26%), yang mengindikasikan posisi Jambi sebagai provinsi dengan kontribusi menengah. Pertumbuhan 4,55% ini mencerminkan ketahanan struktural ekonomi daerah pasca pandemi, meskipun sedikit di bawah rata-rata pertumbuhan wilayah Sumatera sebesar 4,85%.

Hal ini menjadi sinyal positif terhadap efektivitas kebijakan fiskal dan sektor riil, namun belum cukup menjawab tantangan struktural yang lebih dalam. Kontribusi ekonomi Jambi banyak ditopang oleh sektor-sektor unggulan, terutama:

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, yang menyumbang sekitar 27,36% terhadap PDRB Jambi (BPS Provinsi Jambi, 2024).

Pertambangan dan Penggalian, khususnya batu bara dan migas, dengan kontribusi sekitar 22,91%.
Industri Pengolahan, seperti CPO, karet, dan makanan olahan, yang berkontribusi sekitar 14,53%.
Sektor-sektor tersebut secara agregat menjadi tulang punggung ekonomi Jambi, namun masih sangat tergantung pada ekspor komoditas mentah dan harga pasar global.

Namun demikian, jika dilihat secara lebih tajam, posisi ekonomi Jambi yang stagnan di kategori menengah selama lebih dari satu dekade mencerminkan tantangan struktural yang belum sepenuhnya teratasi. Potensi sumber daya alam yang melimpah belum dikapitalisasi secara maksimal melalui transformasi industri bernilai tambah tinggi.

Ekonomi Jambi masih bertumpu pada sektor primer, terutama komoditas ekspor mentah seperti kelapa sawit dan batubara, yang membuat struktur ekonomi sangat rentan terhadap fluktuasi harga pasar global.

Dengan demikian, meskipun capaian pertumbuhan 4,55% menunjukkan stabilitas, pertumbuhan ini belum bersifat inklusif dan transformatif. Ia belum memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang signifikan terhadap sektor informal, UMKM, maupun terhadap pengurangan ketimpangan spasial antardaerah di dalam provinsi.

Daerah-daerah dengan sumber daya alam terbatas masih tertinggal dari pusat-pusat pertumbuhan berbasis tambang dan perkebunan. Ketimpangan spasial dan keterbatasan konektivitas antarwilayah juga menghambat integrasi rantai pasok dalam provinsi.

Padahal, posisi geografis Jambi yang strategis di tengah Pulau Sumatera, serta potensi integrasi dengan jaringan Jalan Tol Trans Sumatera, seharusnya dapat dioptimalkan untuk menjadikan Jambi sebagai simpul logistik regional.

Pemerintah Provinsi Jambi telah menjalankan berbagai inisiatif strategis, termasuk penguatan infrastruktur dasar, pemberdayaan UMKM, dan kolaborasi lintas sektor.

Namun stagnasi kontribusi Jambi dalam satu dekade terakhir mengindikasikan perlunya pendekatan yang lebih progresif. Tanpa restrukturisasi ekonomi yang menyeluruh, Jambi berisiko terus terjebak dalam pola ekonomi ekstraktif sebuah jebakan pertumbuhan tanpa distribusi kesejahteraan yang merata.

Dengan posisi geografis strategis di jantung Pulau Sumatera dan potensi integrasi melalui jaringan Jalan Tol Trans Sumatera, Jambi semestinya mampu mengambil peran sebagai simpul logistik dan kawasan industri strategis di wilayah barat Indonesia.

Namun keterbatasan konektivitas antarwilayah, belum optimalnya integrasi rantai pasok, serta ketimpangan spasial di dalam provinsi menjadi penghambat utama terciptanya efek pengganda yang inklusif terutama bagi UMKM dan daerah-daerah non-komoditas.

Oleh karena itu, tantangan transformasi ekonomi Jambi membutuhkan lima langkah strategis yang saling melengkapi:

Hilirisasi berbasis inovasi dan teknologi pada sektor pertanian, perkebunan, dan tambang.
Reformasi tata kelola investasi dan perizinan untuk memperkuat iklim usaha produktif.
Konsolidasi fiskal daerah untuk meningkatkan efisiensi belanja pembangunan
Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan vokasi berbasis industri.
Akselerasi digitalisasi layanan publik dan ekonomi lokal.
Namun kelima langkah strategis tersebut tidak akan efektif tanpa kolaborasi lintas actor yang solid. Pemerintah daerah membutuhkan sinergi aktif dengan pemerintah pusat, pelaku usaha, akademisi dan masyarakat sipil dalam merancang dan mengeksekusi kebijakan yang berorientasi pada nilai tambah dan keberlanjutan.

Dunia usaha harus menjadi mitra dalam hilirisasi berbasis inovasi, sementara perguruan tinggi dan lembaga riset menyumbang pengetahuan dan teknologi.

Masyarakat, terutama komunitas local dan pelaku UMKM, harus dilibatkan sebagai bagian dari transformasi agar dampaknya inklusif dan berkeadilan.

Tanpa intervensi kebijakan yang berani, terukur, dan berbasis data, Jambi tidak akan mampu keluar dari jerat ketergantungan sektor primer. Momentum pertumbuhan ekonomi Triwulan I 2025 seharusnya tidak dipahami semata sebagai capaian, melainkan sebagai peringatan dini sekaligus peluang untuk mempercepat reformasi struktural.

Dalam lanskap ekonomi Sumatera yang semakin kompetitif, Jambi tak cukup hanya menjadi pengikut tren sektoral.

Diperlukan keberanian politik, konsistensi teknokratis, serta sinergi kelembagaan untuk mentransformasi struktur ekonomi dari ekonomi berbasis ekstraksi menuju ekonomi berbasis hilirisasi, inovasi, dan konektivitas.

Pertumbuhan 4,55% bukanlah garis akhir, melainkan titik tolak untuk menetapkan ulang fondasi ekonomi Jambi yang lebih inklusif, adaptif, dan berdaya saing tinggi.

Sudah saatnya hilirisasi tidak lagi menjadi sekadar agenda wacana, tetapi menjadi prioritas nyata dalam peta jalan pembangunan masa depan.

banner 325x300
banner 325x300