TAFAKKUR
by Eva Srie Tandjung >
Mengetuk malam-Mu,
serupa embun jatuh merintik di lempengan daun,
di tepian malam-Mu
begitu banyak pintu, namun sepi adalah nyanyian hakiki menuju rumah,
yang aku tuju
keabadian
Mengetuk malam-Mu,
laiknya sunyinya musim gugur, yang tak berani membuka jendela
Hanya membisu dalam tubuh almanak
menuliskan angka-angka yang melekat di gigir langit
Mengetuk malam-Mu,
serupa penggembala dingin yang paling tabu
ketika daun-daun mapel berguguran dihempas angin
dan ribuan puisi pun tertulis di dada para penyair
Mengetuk malam-Mu serupa ilalang,
menenun kosa kata air mata,
membulir dari ribuan butiran doa anak-anak miskin, yang gagal terbang ke langit, demi memetik bahagia,
di pipi rembulan
Mengetuk malam-Mu,
aku nyaris setuju pada ayat-ayat hujan tahun lalu
Tentang riwayat dalam kitab-kitab yang ditulis bapak berdasarkan abjad persembahan
Mengetuk malam-Mu layaknya meniduri kemarau yang gagal,
terlunta-lunta sendiri di ujung senja
mencari sebungkus sepi dalam haibun yang ditulis embun
Pada mihrab-mihrab sunyi, yang tak lagi sadar akan tilawah
Mengetuk malam-Mu,
seperti subuh yang begitu setia menanti lantunan tarhim,
Juga kalam adzan yang terlepas dari kerongkongan muazin
parau dari sebuah surau
Mengetuk malam-Mu,
menumbuhkan ilam-ilam rindu,
di mana pada tempat yang sama aku bisa belajar mencatat jejak peristiwa di antara butiran jam pasir
menanti pusara
masai, 27 september 2017