Oleh Wina Armada Sukardi,pakar hukum dan etika pers
BETAPAPUN hebatnya dan rapinya sistem sebuah lembaga, mungkin saja, dirancang atau by accident (tidak disengaja), suatu saat dapat terpeleset, atau menghadapi masalah pelik yang belum terpikir sebelumnya.
Demikian pula, betapa supernya seseorang dalam memimpin, bukan tak mungkin terjebak dalam kesalahan.
Tidak ada lembaga dan manusia yang lepas dari kesalahan dan atau problem.
Oleh sebab itu, semua lembaga dan orang harus ada yang mengawasinya. Perlu ada yang mengontrolnya. Mengingatkannya. Kalau perlu, sekaligus mengoreksinya.
Tanpa pengawasan dan kontrol terhadap sebuah lembaga, termasuk orangnya, maka lembaga itu dapat menjadi “super bodi: ” sebuah lembaga yang tidak dapat disentuh siapapun, termasuk oleh mekanisme hukum, bahkan juga oleh mekanisme internal dirinya sendiri.
Dengan kata lain, sebuah lembaga yang punya otoritas mutlak dan tidak dapat diawasi, apalagi dikoreksi, oleh siapapaun, pihak manapun.
Berangkat dari pemikiran itulah, telah lama muncul konsep, tak boleh ada lagi lembaga yang tak dapat dikontrol. Tidak dapat diawasi. Tak peduli betapa penting dan “sakralnya” lembaga negara manapun, tetap perlu ada yang mengawasinya.
Bukankah sudah menjadi adigium, kekuasaan, kewenangan atau otoritas yang besar, cenderung ada penyimpangan, betapapun kecil.
Dan semakin lama penyimpangan itu akan semakin besar pula. Maka, sedini mungkin harus dicegah ada lembaga yang imun terhadap pemantauan, pengawasan, pemeriksaan dan koreksi dari pihak lain nya. Mekanisme pengawasan, kontrol dan koreksi berfungsi agar lembaga-lembaga yang menjalankan peranan dan kedudukan sesuai ketentuan.
Jika ada penyimpang, maka ada pihak lain yang menentukannya. Menegurnya, bahkan memberikan sanksi.
MKMK
Contoh terbaru dari perlunya ada lembaga pengawas, dibentuknya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK-MK).
Dalam perundangan-undangan Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu badan peradilan yang sangat penting. Juga sangat terhormat.
Di lembaga inilah diuji apakah sebuah norma hukum dalam sebuah undang-undang (UU) bertentangan atau tidak dengan norma-norma yang terdapat dan diatur dalam hukum tertinggi kita, konstitusi Indonesia, yakni UUD 1945.
Fungsi MK adalah menjaga kemurnian konsititusi. Tak ada norma dalam UU manapun yang boleh bertentangan dengan norma konstitusi.
Sudah puluhan norma dalam UU dibatalkan oleh MK dengan alasan bertentangan dengan norma konstitusi.
Tak sampai disitu. Keputusan MK pun “sakral.” Keputusan MK bersifat final dan mengikat.
Artinya, hanya lembaga MK saja yang berhak membahas dan menjatuhkan keputusan soal sesuatu norma bertentangan atau tidak bertentangan dengan norma konstitusi.
Tak ada satu lembaga negara lain pun yang diberikan kewenangan itu, selain MK.
Terhadap keputusan MK tak boleh ada lagi yang menilainya secara yuridis, kecuali MK sendiri.
Dalam hal ini posisi MK terang benderang. Dialah satu-satunya lembaga yang berhak menjaga kemurnian konstitusi.
Itu pun belum cukup. Semua keputusan MK tak bisa diganggu gugat. Tak ada banding. Langsung bersifat final sekaligus langsung mengikat.
Ini sesuai dengan filosofi hukum, agar keputusan MK tak ada lagi yang boleh menilai.
Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, wajib dipatuhi.
Oleh sebab itu MKMK pun sama sekali tidak menjamah materi keputusan yang sudah dijatuhkan oleh MK, melainkan hanya mengulik soal-soal yang terkait etika.
Selama ini, seakan tak ada problem di MK. Tak ada masalah apapun.
Apa yang sebenarnya terjadi di dalam MK, tak ada yang faham, kecuali sesama hakim MK sendiri.
Ini lantaran selama itu tak ada yang memantau dan mengawasi “jeroannya.” MK seakan menjadi “super bodi” yang _clean and clear_ alias bersih dan sehat.
Barulah setelah santer bertiup pelbagai keluhan, tudingan dan laporan terhadap sepak terjang MK, dibentuklah MKMK.
Majelis Kehormatan ini bersifat etik. Mengawasi tingkah laku, moral dan proses mekanisme perkara. Tapi sama sekali tidak boleh “menyentuh” pokok perkara, lantaran itu sudah dogma menjadi wilayah dan independensi para hakimnya.
Setelah MKMK terbentuk dan melakukan pemantaun, pengawasan dan pemeriksaan, terbuktilah MK bukanlah lembaga yang “sedang baik-baik saja.” Rupanya banyak persoalan bercokol disana. MKMK pun memutuskan adanya beberapa pelanggaran etika dan menjatuhkan sanksi.
Salah satu sanksi yang paling fundamental dan bersejarah adalah “memecat” ketua MK dari jabatannya sehingga hanya menjadi anggota biasa.
Itu pun dengan kewenangan yang masih dibatasi pula.
Keputusan MKMK berdampak, baik bagi MK sendiri maupun bagi penegakkan hukum secara menyeluruh.
Keputusan itu lebih bersejarah lagi buat perkembangan politik dan tata negara Indonesia.
Kalaulah tidak dibentuk MKMK, tak mungkin ada keputusan seperti itu. Kalau MK tetap dibiarkan menjadi “super bodi” tak pernah terkuak kelemah-kelemahan MK.
Itulah sebab sangat penting ada lembaga pengawasan terhadap lembaga manapun.
Pengawas KPK
Hal serupa pernah terjadi pada lemaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Lembaga anti rasuah ini karena menangani urusan korupsi, begitu disegani dan bahkan ditakuti. “Menyentuh” eksistensi KPK seakan bermakna anti pemberantasan korupsi.
Sebelumnya tak ada yang berani “mengutak-atik” KPK.
Maka KPK pun saaat itu bagaikan “super bodi.” Tak ada satu pihak pun yang dapat mengawasi, mengontrol dan mengoreksi mekanisme kerja KPK.
Saat itu KPK bagaikan “raja tanpa kesalahan.”
Keadaan ini, disadari tidak sehat buat KPK. Kalau ada urusan perilaku, etika dan kelemahan tak ada yang dapat memantau dan mengawasinya.
Tak ada yang bisa mengoreksinya. Maka dibentuklah Dewan Pengawas KPK.
Sejak dibentuknya Dewan Pengawas KPK, terbukti, KPK pun tidak sesempurna dibayangkan umum.
Ditemukan, baik personilnya maupun sistemnya, masih ada yang perlu diawasi dan dikoreksi. Setidaknya, sejak adanya Dewan Pengawas KPK, lembaga pemberantasan korupsi ini lebih hati-hati dan lebih profesional.
Hal ini lantaran setiap penyimpangan kini sudah dapat “dipelototi” Dewan Pengawas.
Dengan kata lain, hadirnya Dewan Pengawas KPK, memberikan efek positif bagi KPK sendiri.
Selain KPK tak lagi jadi “super body, ” pengawasan terhadap KPK membuat KPK lebih dipercaya.
KPK tak lagi menjadi lembaga “raja tanpa kesalahan,” sekaligus menbumikan lembaganya.
Posisi Dewan Pers
Kemerdekaan pers harus dilindungi. Ini jelas benar. Pers harus independen. Itu pun benar.
Ruang redaksi harus bebas dari intervensi pihak ketiga manapun. Ini juga tak salah.
Oleh karena itu, pers memiliki Dewan Pers yang kuat, yang independen dan memiliki mekanisme swaregulasi.
Sampai sini tak ada yang keliru. Benar semua adanya.
Pertanyaaannya: apakah Dewan Pers merupakan lembaga “suci “ yang tak mungkin dapat berbuat salah? Apakah Dewan Pers suatu saat pada suatu kasus tidak mungkin miss manajemen? Apakah Dewan Pers pasti terhindari dari problem-problem pelik dirinya? Bagaimana jika ada anggota Dewan Pers memiliki perilaku yang menyimpang atau tidak sesuai dengan statuta Dewan Pers dan kepatuhan dalam masyarakat pers?
Selama ini, tidak ada yang dapat mendeteksi.
Tak pernah ada pemantauan, pengawasan dan pemeriksaan terhadap Dewan Pers. Jadilah Dewan Pers semacam “super bodi” yang masih tersisa.
Padahal dari pengalaman dan pengelihatan penulis, Dewan Pers pun memiliki beberapa hal yang perlu kehadiran lembaga pemantau, pemeriksa dan pemutus terhadap urusan internal Dewan Pers.
Pada zaman saya menjadi anggota Dewan Pers, sempat gaduh soal “saham garuda.”
Ditenggarai urusan saham maskapai Garuda yang waktu itu mau IPO juga mencipratkan soal ke Dewan Pers.
Saya sendiri ketika itu sebenarnya mau “ngotot” menuntaskan persoalan ini: ada masalah terkait dengan IPO saham Garuda atau tidak Dewan Pers? Tapi tidak ada mekanisme yang melibatkan lembaga pengawas Dewan Pers. Kasus ini pun lenyap begitu saja.
Sewaktu ketua Dewan Pers dijabat Azyumardi Azra meninggal dunia, sempat muncul masalah, siapa penggantinya sebagai ketua, dan siapa penggantinya sebagai anggota.
Statuta menegaskan, anggota yang meninggal diganti dengan nomer urut berikutnya dari unsur yang sama.
Sedangkan jabatan ketua, meskipun tidak diatur di statuta, berlaju konvensi “ketua Dewan Pers tidak berasal dari lingkungan pers tapi dari tokoh masyarakat.”
Keadaan ini sempat menimbuklkan silang sengketa di masyarakat pers, ternasuk di internal Dewan Pers.
Problem ini lalu diselesaikan melalui “kesepakatan konstituen Dewan Pers” sampai terpilih ketua baru dan anggota baru.
Jika ada lembaga yang memantau, mengawasi dan memeriksa di Dewan Pers, boleh jadi kasus ini dapat segera dituntaskan dengan cepat sesuai dengan Statuta.
Badan Pertimbangan
Sejatinya dalam statuta Dewan Pers sudah ada lembaga yang “memantau” dan mengawasi mekanisme dan tata laksana Dewan Pers, termasuk memberikan pendapat, solusi dan sanksi-sanksinya.
Manakala saya menjadi anggota Dewan Pers priode pertama, sayalah orang yang “memasukan” adanya lembaga semacam ini. Namanya Badan Pertimbangan.
Dan semua anggota waktu itu dengan suara bulat sepakat dan mendukung pembentukan serta pencantuman Badan Pertimbangan Dewan Pers di Statuta Dewan Pers.
Pada era Dewan Pers dipimpinan Prof. Bagir Manan sebagai ketua, pelaksanaan pembentukan lembaga ini sudah mulai didiskusikan.
Saat itu sudah dirasakan perlu sebuah lembaga yang dapat memantau Dewan Pers, tetapi lembaga itu harus independen, di samping tentu berkualitas.
Sayangnya, belum sempat lembaga ini terwujud, priode Pak Bagir Manan sudah berakhir lebih dahulu.
Pada era Stenly, tak ada kabar berita sama sekali soal proses pembentukan Badan Pertimbangan Dewan Pers.
Boleh jadi kelahiran Badan Pertimbangan Dewan Pers pada saat itu dipandang bukan prioritas utama Dewan Pers.
Barulah pada era kepemimpinan Dewan Pers di bawah Prof. Azumardy Arza, Badan Pertimbangan ingin segera diwujudkan.
Azumardy sudah berdiskusi dan konsultasi dengan banyak pihak, termasuk dengan saya, soal pembentukan Badan Pertimbangan Dewan Pers ini.
Dia bertekad secepatnya membidani kelahiran Badan Pertimbangan Dewan Pers. Almarhum merasa butuh adanya badan ini.
Calon anggotanya, lengkap dengan ketua dan sekretarisnya, sudah disusun.
Bahkan beliau sudah mempersiapkan draf SK untuk memperlakukan Badan Pertimbangan.
Tapi sejarah berkata lain. Belum sempat dokumen-dokumen itu ditandatangani, Azumardy telah lebih dahulu dipanggil oleh Sang Maha Pencipta manakala sedang berkunjung ke Malaysia. Badan Pertimbangan Dewan Pers pun urung lahir.
Pergeseran Makna
Badan Pertimbangan Dewan Pers mengalami berbagai perubahan makna.
Ketika awal saya ikut mengusulkan dan membentuk Badan Pertimbangan ini serta mencantumkannya di Statuta Dewan Pers, awalnya dimaksudkan untuk mengawasi memeriksa dan memutuskan persoalan etik yang mungkin terjadi di lingkungan Dewan Pers.
Keputusannya berupa rekomendasi ke Dewan Pers serta para pihak yang terkait.
Dengan demikian, berbagai persoalan yang ada di Dewan Pers tidak perlu dibawa keluar Dewan Pers, melainkan cukup diperiksa oleh Badan Pertimbangan Dewan Pers.
Masalahnya, belum lagi lembaga ini terbentuk, fungsinya dalam statuta sudah bergeser.
Tahun 2016, tak ada catatan yang jelas mengapa, pada perubahan Statuta Dewan Pers tahun itu, Badan Pertimbangan “dikerdilkan” hanya sebagai lembaga pemberi nasehat saja.
Anggotanya pun diperbolehlan dari para staf Dewan Pers yang nota bene bawahan anggota Dewan Pers.
Tentulah Badan Pertimbangan Dewan Pers seperti bagaimana “macan ompong” tanpa kekuatan apapun.
Dengan kata lain, Badan Pertimbangan Dewan Pers saat itu belum lahir saja, giginya rontok.
Dengan demikian, jika denga posisi seperti itu Badan Pertimbangan dilahirkan, hampir pasti tak ada manfaatnya secara signifikan.
Kalau sekedar memberi nasehat, anggota Dewan Pers sudah “katam” masalah pers. Tak terlalu membutuhkan nasehat lagi.
Sebaliknya, Badan Pertimbangan Dewan Pers dapat efektif jika diberi porsi sebagai memantau, pengawas, pemeriksa dan pemutus masalah-masalah etis dan organisasi Dewan Pers, sehingga Dewan Pers terhindari sebagai lembaga “super body.”
Belajar dari riuh rendahnya kasus pembentukan MKMK dan yang ditanganinya, sudah saatnya Dewan Pers tidak menjadi lembaga super bodi lagi dengan segera membidani kelahiran Badan Perimbangan Dewan Pers.
Bersamaan dengan itu, sekaligus juga mengembalikan fungsi Badan Pertimbangan Dewan Pers sebagai pemamantau, pengawas dan pemeriksan serta pemutus masalah etik dan organisatoris yang terjadi di Dewan Pers**