banner 728x250
TOKOH  

Mengenang dan Mengenal Abah KH Muhammad Zen Syukri, Ulama Sufi Kebanggaan Sumatera Selatan

Abah KH Muhammad Zen Syukri, Ulama Sufi Kebanggaan Sumatera Selatan/foto ist/muqimussunnah.com
banner 120x600
banner 468x60

QUTUL QOLBY, itulah salah satu karya fenomenal Al Faqirilallah KH Muhammad Zen Syukri seorang Ulama Sufi kebanggaan dan panutan warga Palembang Khususnya dan umat islam se-tanah air.

Buku yang dicetak pertama kali oleh penerbit Yayasan Tarbiyah Islamiyah pada Radjab 1404 H atau April 1984 M tersebut merupakan 99 Dikat ceramah-ceramah sang Abah Zen di Mesjid Agung Palembang.

banner 325x300

Melalui karya Qutul Qolbi yang bermakna “Santapan Hati”, sebagai tuntunan yang dapat dijadikan salah satu referensi pegangan hidup para muridnya bagaimana menemukan dan merasakan keindahan hati serta cara meng-ikhlaskan amal ibadah kepada Allah SWT.

Itulah sekelumit tentang karya beliau yang menjadi warisan berharga bagi murid-muridnya yang kini tersebar di seluruh tanah air hingga ke jazirah arab.

Bersyukur penulis pada era tahun 90 an, mendapat beberapa kali kesempatan menjemput beliau dari kediamannya di kawasan KM 3,5 palembang ke Mesjid Agung menggantikan dan dipercaya sahabat saya H Ahmad Affandi (Ustad Didi yang terahir sempat menjadi Ketua DPW PITI Sumsel) dan menerima warisan buku Qutul Qolby karya beliau dari KH Ahmad Zahruddin Syambasi (Ketua MUI Musi Rawas).

Sebuah perjalanan yang berliku hingga terpercik rasa cinta dihati untuk sang Ulama.

“kalu wong pacak ngapo kito idak” .( من جد وجد )itulah motto yang sering beliau tanamkan untuk murid-muridnya agar selalu optimis mengejar kemajuan hidup.

Mengenang dan Mengenal Abah KH Muhammad Zen Syukri

Dilansir dari laman nu.or.id, Abah KH Muhammad Zen Syukri, Ulama Sufi Kebanggaan Sumatera Selatan tersebut lahir pada 1919 dari lingkungan keluarga Islam santri.

Keluarganya tergolong kelas menengah Palembang pada zamannya.

Karena itu ia memperoleh pendidikan yang memadai, terutama dalam bidang agama.

Walaupun keluarganya mampu menyekolahkan ke sekolah Belanda, tetapi orang tuanya melarang sekolah dan mempelajari bahasa kolonial itu, akhirnya ia hanya belajar di madrasah Ibtidaiyah Hingga tamat Tsanawiyah pada tahun1935.

Setamat Tsanawiyah umumnya masyarakat yang mampu, akan mengirim anaknya ke Mekkah, demikian pula keinginan keluarga Zen.

Namun setelah dilakukan istikhoroh, ayahnya melarang kepergian anaknya ke Tanah Suci. Tentu saja Zen kecewa dan malu karena tetangga sudah terlanjur tahu rencana itu, bahkan tetangga menyindir gagalnya keberangkatan itu.

Tetapi ayahnya menasehatkan bahwa belajar agama di mana-mana sama saja, toh nanti di Mekah akan berguru pada para ulama Nusantara juga.
Sementara di Indonesia sudah banyak ulama yang alim. Tanpa sepengetahuan orang tua ia menjual sepeda untuk pergi merantau belajar agama.

Pesantren yang dituju adalah Tebuireng Jombang, sebab ia pernah mendapatkan cerita dari gurunya yakni Syekh Muhamamad Salim Alkaf, seorang Rois Suriyah NU dan salah seorang pendiri NU Palembang, yang telah mengenal kebesaran pesantren itu.

Dengan berbekal uang secukupnya itu ia naik kereta api ke Lampung kemudian menyeberang ke Batavia (Jakarta).

Perjalanan yang begitu panjang itu dengan sendirinya menipiskan pesangon, sehingga terpaksa ia menjadi buruh di sebuah penerbitan sebagai pemotong koran.

Perjalanan ke Jawa Timur dilanjutkan setelah memperoleh pesangon dari hasil kerja selama beberapa bulan. Tetapi ternyata sangu yang dimiliki hanya cukup untuk perjalanan sampai di Jawa tengah, tepatnya di daerah Tegal, akhirnya ia tidak membuang waktu lalu meneruskan belajar ke sebuah pesantren di daerah itu selama satu tahun yakni 1936.

Karena tujuan utamanya adalah pesantren Tebuiren maka selama nyantri di Tegal ia menjadi khadam kiai, selain itu juga sambil bekerja sebagai pembantu dan kuli, sebagai bekal untuk melanjutkan perjalanan ke Tebuireng.

Setelah setahun di pesantren itu dan ketika perbekalan cukup, maka pada tahun 1937 ia berangkat ke Tebuireng, tetapi sesampai di pondok uang itu segera habis, akhirnya untuk melaksanakan cita-citanya belajar pada ulama alim ditempuh dengan cara mengabdi kepada kiai yaitu kiai Hasyim Asy’ari sebagai khodam (pelayan) yang mengurus rumah tangga dan menyiapkan pengajian Kiai.

Zen mendapatkan perhatian istimewa dari Kiai Hasyim, karena itu ia selalu diajak sang Guru untuk melakukan pengajian keliling di sekitar Jombang, sebagai pembawa kitab, serta membatu semua keperluan gurunya.

Dari situ sebenarnya Zen banyak belajar, tidak hanya etika di pesantren, tetapi ketika sang guru melayani masyarakat, memberikan pengajian di masjid di pesantren lain atau ketika ketemu dan bermusyawarah dengan para kiai lainnya.

Selain itu ia juga berguru kepada kiai yang lain yaitu Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Sansuri. Dalam waktu tiga tahun ia telah berhasil menamatkan pengajian berbagai kitab dan sekaligus menguasai keilmuan yang dipelajari.

Akhrinya Kiai Hasyim rela melepaskan santri kesayangannya itu untuk kembali ke kampung halaman tahun 1939, untuk mengembangkan ajaran ahlusunnah di daerahnya serta untuk turut menggerakkan NU di kawasan Sumatera itu.

Sebagai kader ulama pesantren, maka ketika sampai kembali ke kampung halaman, yang dilakukan adalah bergabung dengan organisasi NU di Palembang.

Sebagai salah seorang santri Tebuireng apalagi sebagai murid Kiai Hasyim Asy’ari, maka ia mendapat posisi terhormat di pengurusan NU Palembang, yang dianggap telah mewarisi tradisi ke-NU-an yang memadai.

Karena itu walaupun usianya masih relatif muda yakni 21 tahun ia dikukuhkan sebagai sekrtaris NU cabang Palembang. Dengan organisasi yang dikelolanya itu ia tidak hanya mampu menagajrkan ilmu agamnya, tetapi juga pengalaman berorganisasi selama di Tebuireng juga bisa diterapkan di daerahnya, sehingga NU Palembang terus-mencapai kemajuan.

Maka pada tahun 1943 ia dipilih sebagai Ketua Tanfidziyah NU Cabang Palembang.

Sebagaimana gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari, ia juga rajin mengadakan pengajian ke berbagai pelosok daerah. Ia dipercaya menjadi kepala Perguruan Ahliyah pada tahun 1942.

Dengan dedikasi dan kedalaman ilmunya, maka pada tahun 1950 ia mendapat penghormatan sebagai pengajar di Masjid Agung Palembang, sebuah Masjid Peninggalan Kerajaan Palembang Darussalam.

Padahal tidak mudah seseorang bisa diterima sebagai pengajar di Masjid Agung tersebut kalau tidak benar-benar mumpuni keilmuannya.

Dukungan yang diberikan kalangan ulama Sunni-Syafii serta para saudagar yang ada di kota itu pada NU sangat kuat, sehingga perkembangan NU di wilayah itu sangat pesat.

Pesatnya perkembangan itu terbukti tidak lama kemudian Palembang sudah siap menyelenggarakan Muktamar NU yang ke 19 Bulan April tahun 1952.
Sementara itu keaktifan Zen dalam mengelola Masjid Agung itu tidak menghambat aktivitasnya di NU, bahkan aktivitasnya terus meningkat dari Cabang menjadi pengurus NU Wilayah Sumatera Selatan.

Kemudian terpilih menjadi pemimpin tertinggi NU di daerah itu sebagai Rais Syuriah NU Wilayah selama tiga periode yakni dari 1984 hingga 1999.
Bahkan sempat terpih sebagai salah seorang Musytasyar PBNU, kemudian atas ketokohannya juga ia dipilih sebagai anggota MPR sebagai wakil daerah. Ia kemudian masih menjadi Musytasyar NU Wilayah. KH Muhammad Zen Syukri menjadi simbol eksistensi NU di Sumatera Selatan.

Itulah sekelumit kisah tentang karya dan pengenalan serta mengenang ulama sufi Kebanggaan Sumatera Selatan tersebut.***

berbagai sumber/Hery FR

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *