banner 728x250
OPINI  

Pilihan Berisiko: Mantan Pencandu Narkoba dan Isu Moralitas di Pilkada 2024

Syaiful Bakri
banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Syaiful Bakri (*)

Badan Narkotika Nasional (BNN) Sulawesi Selatan (Sulsel) menyampaikan hasil pemeriksaan calon kepala daerah untuk Pilkada 2024. Dari hasil tes, Wakil Bupati Maros Suhartina Bohari dinyatakan positif mengandung metamfetamin atau sabu. Temuan ini mengejutkan banyak pihak, mengingat Suhartina merupakan salah satu kandidat yang digadang-gadang memiliki peluang besar dalam kontestasi Pilkada mendatang.

banner 325x300

BNN menyatakan bahwa hasil tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan rutin yang dilakukan terhadap seluruh calon kepala daerah, guna memastikan integritas dan kelayakan mereka dalam menjalankan tugas pemerintahan.

Menyusul pengumuman ini, sejumlah pihak mendesak agar dilakukan investigasi lebih lanjut terkait dugaan penyalahgunaan narkoba tersebut. Tidak hanya itu, berbagai spekulasi bermunculan mengenai dampak temuan ini terhadap elektabilitas Suhartina di tengah masyarakat Maros.

Kasus ini tidak hanya menjadi sorotan di tingkat daerah, tetapi juga menarik perhatian publik di tingkat nasional, mengingat pentingnya peran kepala daerah dalam memerangi penyalahgunaan narkoba.

Dengan adanya kasus ini, isu tentang integritas calon kepala daerah kembali menjadi sorotan utama. Pilkada 2024 di Maros tampaknya akan semakin dinamis, dengan masyarakat yang kini lebih kritis dalam menilai para kandidat yang akan memimpin daerah mereka ke depan.

Dinamika serupa terjadi di Jambi, ketika seorang calon gubernur, RH, secara terbuka mengakui dirinya sebagai mantan pecandu narkoba melalui sebuah podcast bersama Pangeran Siahaan yang ditayangkan di YouTube. Meskipun demikian, ia tetap dinyatakan lolos seleksi sebagai calon kepala daerah.

Di Indonesia, pengakuan pelaku diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 184, yang menyebutkan bahwa pengakuan dapat dijadikan salah satu alat bukti. Namun, pengakuan ini harus diperoleh dengan cara yang sah serta tidak melanggar hak asasi manusia. Pengakuan RH ini memicu perdebatan di tengah masyarakat.

Banyak yang mempertanyakan, apakah seseorang yang pernah terjerumus dalam ketergantungan narkoba layak diberi kesempatan untuk memimpin daerah? Skeptisisme muncul dari sebagian besar masyarakat, yang meragukan apakah mantan pecandu memiliki kapasitas dan kestabilan mental untuk memikul tanggung jawab sebesar itu. Namun, di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa setiap individu, termasuk mantan pecandu, layak diberi kesempatan kedua, asalkan mereka telah membuktikan diri mampu melepaskan diri dari ketergantungan, dengan dukungan bukti yang valid.

Perdebatan ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih mendalam. Apakah keputusan ini merupakan bentuk perjudian politik model baru, di mana partai atau tim sukses berani mempertaruhkan masa depan daerah dengan mempercayakan kepemimpinan selevel provinsi pada seseorang yang memiliki riwayat sebagai pengguna narkoba? Dukungan yang diberikan padanya seolah menunjukkan adanya pergeseran nilai dalam politik, di mana masa lalu yang kelam tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam menilai kelayakan seorang calon pemimpin.

Risiko kambuh pada mantan pencandu narkoba tidak bisa dianggap remeh. Berdasarkan berbagai penelitian, mantan pencandu memiliki kemungkinan untuk kembali menggunakan narkoba, terutama jika mereka berada dalam situasi stres atau tekanan berat. Posisi kepala daerah yang penuh dengan tantangan tentu menimbulkan risiko yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, penting untuk mempertanyakan, seberapa besar kesiapan mental dan emosional seorang mantan pencandu untuk menghadapi godaan di tengah tekanan politik dan beban tanggung jawab yang besar?

Kasus ini menjadi dilema etis bagi para pemilih. Di satu sisi, memilih mantan pencandu narkoba sebagai pemimpin daerah bisa menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Seorang mantan pencandu mungkin saja memiliki kerentanan terhadap godaan yang lebih besar, seperti tekanan dari jaringan narkoba atau kepentingan gelap lainnya. Ada risiko bahwa ia bisa kembali terjerumus ke dalam lingkaran yang sama, terlebih jika berhadapan dengan tekanan politik yang besar dan tuntutan dari berbagai pihak.

Lebih dari itu, memilih mantan pencandu narkoba bisa memberikan preseden buruk dalam dunia politik. Ini seolah mengirimkan pesan bahwa sejarah buruk seseorang tidak lagi menjadi pertimbangan penting dalam memilih pemimpin. Dampaknya bisa berujung pada penurunan standar moral dan etika dalam politik, di mana rekam jejak kelam dianggap sepele asalkan memiliki modal politik atau popularitas yang memadai.

Selain itu, hal ini juga bisa melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Ketika seorang mantan pencandu narkoba bisa lolos menjadi calon pemimpin daerah, masyarakat mempertanyakan kredibilitas proses seleksi dan verifikasi yang dilakukan oleh partai politik maupun lembaga terkait. Keputusan seperti ini bisa memperkuat persepsi bahwa politik lebih mengutamakan kepentingan praktis dan pragmatis dibandingkan dengan kualitas moral dan integritas calon pemimpin.

Selain dari sudut pandang politik, kekhawatiran serupa muncul dari perspektif kesehatan masyarakat, yang melihat dampak lebih luas dari keputusan tersebut. Narkoba tidak hanya meninggalkan jejak pada reputasi, narkoba tidak hanya merusak fisik, tetapi juga dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan psikologis seseorang dalam jangka panjang.

Meskipun seseorang sudah dinyatakan pulih, potensi dampak residual dari penggunaan narkoba di masa lalu bisa mempengaruhi pengambilan keputusan, terutama dalam situasi krisis atau tekanan tinggi. Ini bisa berdampak pada stabilitas dan efektivitas kepemimpinannya di masa mendatang.

Dengan semua pertimbangan ini, keputusan untuk memilih mantan pencandu narkoba sebagai pemimpin daerah tidak hanya berdampak pada individu tersebut, tetapi juga pada pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai yang diusung oleh sistem politik. Jika masyarakat mulai merasa bahwa integritas dan rekam jejak tidak lagi menjadi prioritas, maka kredibilitas demokrasi itu sendiri bisa dipertanyakan. Apakah kita siap mengambil risiko sebesar ini demi memberikan kesempatan kedua pada seseorang yang pernah terjebak dalam jerat narkoba? Sakau, No. Mantap, Yes.***

 

 

(*) Ketua Forum Masyarakat Peduli Pilkada Jambi (FMP2J)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *