banner 728x250

Podcast “Dear President” Capai Episode Ke-100: Jurnalis Bicara Langsung ke Istana, Bukan Cari Viral

Oplus_0

SUMATERADAILY.COM – Di tengah hiruk pikuk konten viral dan podcast penuh sensasi, kanal podcast “Dear President” justru melaju dengan semangat berbeda.

Digagas oleh tiga jurnalis senior — Haris Jauhari, Didi Suprianto, dan Nugroho F. Yudo — podcast ini menandai tonggak penting dengan menayangkan episode ke-100, sebuah pencapaian yang sarat makna, bukan demi viewer semata, tetapi demi satu tujuan: bicara langsung ke Presiden Republik Indonesia.

banner 325x300

“Sebetulnya kami bikin ini karena cuma pengen ngomong sama Presiden,” kata Nugroho, dalam sebuah diskusi reflektif. “Kalau Presiden dengar, udah cukup. Nggak peduli ditonton berapa orang.”

Dari Obrolan Santai Jadi Kanal Aspirasi Serius

Bermula dari ide nekat yang muncul antara Haris dan Didi, podcast berdurasi 10-15 menit ini lahir dengan modal optimisme dan rasa ingin menyampaikan unek-unek rakyat tanpa basa-basi birokrasi.

Tak ada bintang tamu. Tak ada studio canggih. Hanya opini dan kritik jurnalis generalis yang paham banyak hal — dan berani menyampaikannya secara terbuka.

“Kita wartawan, tahu sedikit tentang banyak hal. Jadi bisa ngomong banyak, asal tetap relevan,” ujar Haris, sambil tertawa.

Semua Ujungnya Presiden

Setiap episode selalu berujung pada satu titik: Presiden sebagai pemegang keputusan tertinggi.

Isu militer, proyek IKN, peran Gibran, hingga beras oplosan, semua dikaitkan dengan kebijakan dan pernyataan kepala negara.

“Kadang kita bahas sesuatu, eh beberapa minggu kemudian menteri-menteri ngomongin hal yang sama. Kebetulan atau bukan, kami yakin Presiden dengar,” ucap Didi mantap.

Episode Ke-100: Bedah Tajam Soal Beras Oplosan

Dalam episode spesial ke-100, trio jurnalis ini menyoroti dugaan manipulasi narasi soal stok dan impor beras.

Mereka mempertanyakan pernyataan pejabat tentang “beras oplosan Rp100 triliun” dan menilai narasi itu seolah menyalahkan petani dan pedagang kecil, bukan akar masalahnya.

“Produksi kita 30 juta ton, kebutuhan cuma 22 juta ton. Harusnya surplus. Tapi kita impor. Kenapa?” tanya Haris. Nugroho menambahkan, “Kalau beras lama Bulog dilepas ke pasar, itu sumber beras oplosan sesungguhnya.”

Bukan Gibah, Tapi Kritik Cinta Negeri

Meski mengakui konten “gibah” lebih menjual, para host Dear President tetap konsisten dengan kritik berbasis data.

Mereka bukan buzzer, bukan konten kreator sensasional — mereka jurnalis.

“Kita tahu prioritas. Kritik kami bukan buat menjatuhkan, tapi karena peduli. Karena ini negara kita juga,” tegas Didi.

Minim Produksi, Maksimal Pesan

Dengan gaya santai, tanpa gimmick, episode-episode Dear President dipilih dari obrolan sehari-hari via grup WhatsApp.

Jika topik dirasa kurang berdampak, mereka rela membatalkannya. Prinsip mereka sederhana: lebih baik tidak tayang, daripada tidak bermakna.

“Kritik itu bukan bentuk benci. Kritik adalah bentuk cinta,” tutup Haris.

Podcast Dear President membuktikan bahwa suara jurnalis masih relevan — bahkan di era serba cepat dan penuh clickbait.

Seratus episode telah terlewati, namun suara mereka belum selesai. Karena negeri ini, kata mereka, masih butuh didengarkan oleh Presidennya sendiri.***

Buyil

banner 325x300
banner 325x300