Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP – Akademsisi UIN STS Jambi
INDUSTRI kelapa sawit merupakan paradoks dalam pembangunan agraria Indonesia. Di satu sisi, ia menjadi penopang ekonomi nasional penyumbang devisa, penyerap tenaga kerja, dan andalan ekspor.
Namun di sisi lain, ekspansi tak terkendali, ketimpangan kepemilikan lahan, dan distribusi manfaat yang tidak merata menjadikannya sumber konflik ruang dan ketidakadilan struktural.
Ketika sawit menjadi poros ekonomi di provinsi seperti Jambi, Riau, dan Kalimantan Tengah, yang dipertaruhkan bukan sekadar angka ekspor, tetapi keadilan agraria, keberlanjutan ekologis, dan tata ruang nasional.
Konsentrasi lahan sawit di sepuluh provinsi utama, sebagaimana tergambar dalam peta spasial Kementerian Pertanian, mencerminkan ketimpangan agraria yang serius.
Secara teknokratik, kondisi ini menuntut penataan ulang tata kelola sumber daya alam melalui pengendalian konversi lahan, reformulasi insentif fiskal, dan restrukturisasi kemitraan korporasi-petani.
Tanpa kebijakan berbasis data dan keberpihakan pada kepentingan publik, industri ini berisiko melanggengkan ketimpangan pembangunan.
Data resmi menunjukkan bahwa Riau memimpin dengan luas 2,86 juta hektare, diikuti oleh Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. Jambi, Sumsel, Kalsel, Aceh, dan Sumbar turut menyumbang jutaan hektare lahan.
Namun di balik capaian kuantitatif ini tersembunyi konflik multidimensi ekologis, tenurial, dan social yang belum direspon secara sistemik dan berkeadilan.
Realitas inilah yang menegaskan bahwa di balik dominasi spasial industri sawit, tersimpan persoalan tata kelola lahan yang kompleks, di mana tumpang tindih klaim, ketimpangan akses, dan absennya kepastian hukum menciptakan konflik struktural yang akut.
Pertama, konflik struktural dalam tata kelola lahan sawit mencerminkan ketimpangan kekuasaan dalam penguasaan ruang dan sumber daya alam yang semakin meruncing pasca terbentuknya Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melalui Perpres No. 5 Tahun 2025.
Meskipun dibentuk sebagai instrumen penegakan hukum kawasan hutan, implementasi Satgas di lapangan, khususnya di sentra sawit seperti Provinsi Jambi, menimbulkan keresahan luas di kalangan petani.
Di Kabupaten Muaro Jambi, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat, petani rakyat menghadapi klaim sepihak dari Satgas bahwa lahan bersertifikat mereka berada dalam kawasan hutan, tanpa klarifikasi atau proses partisipatif.
Padahal, menurut Pasal 15 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, penetapan kawasan hutan harus melalui tahapan penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan.
Ketentuan ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011, yang menyatakan bahwa kawasan hutan yang belum ditetapkan secara definitif tidak dapat diberlakukan secara hukum.
Maka, tindakan penindakan administratif oleh Satgas atas dasar penunjukan semata berpotensi melanggar asas legalitas dan prinsip perlindungan terhadap hak warga negara.
Ketimpangan ini diperparah oleh dominasi korporasi besar atas jutaan hektare lahan sawit, yang melemahkan posisi kelembagaan petani dan komunitas adat dalam sistem hukum maupun ekonomi.
Hingga tahun 2022, luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 16,83 juta hektare, dengan sekitar 5,4 juta hektare (32%) berasal dari kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk perkebunan (CIFOR-ICRAF & KLHK, 2023).
Di Provinsi Jambi sendiri, dari total 1,5 juta hektare lahan sawit, terdapat 84 desa yang terdampak konflik tenurial dengan lebih dari 40 desa mengalami sengketa aktif antara masyarakat, korporasi, dan aparat (Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 2023).
Sebagian besar konflik ini berakar dari sejarah klaim tanah ulayat, kawasan hutan adat, dan Areal Penggunaan Lain (APL) yang belum memiliki kejelasan status hukum.
Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan juga menegaskan bahwa masyarakat hukum adat berhak mengelola hutan adatnya, namun dalam praktik Satgas, tanah ulayat dan lahan transmigrasi kerap tidak diakui keberadaannya.
Contoh nyata dapat dilihat dari aksi damai masyarakat lima desa transmigrasi di Kabupaten Tanjab Barat, Pandan Sejahtera, Gambut Jaya, Mekar Sari, Tebing Tinggi, dan Rawa Mekar, yang pada Februari 2025 mengajukan protes di kantor Kanwil ATR/BPN akibat tumpang tindih HGU perusahaan sawit dengan lahan bersertifikat warga (Elaeis.co, 2025).
Ketidakjelasan tata batas, lemahnya sistem registrasi tanah, dan tumpang tindih perizinan menunjukkan kegagalan tata kelola agraria nasional dalam membangun sistem yang adil dan transparan.
Tanpa reformulasi mendasar dalam sistem perizinan, penguatan basis hukum hak-hak komunal, serta digitalisasi tata batas berbasis geospasial (sebagaimana direkomendasikan dalam Strategi Nasional Reforma Agraria), maka konflik tenurial seperti ini akan terus menjadi sumber instabilitas dan ketegangan struktural yang melembaga di wilayah-wilayah sentra produksi sawit.
Negara tidak cukup hadir sebagai pengendali kawasan, melainkan harus menjadi penengah yang adil dan berpihak pada rakyat yang lemah posisi tawarnya.
Kedua, ekspansi sawit secara masif telah melahirkan konflik ekologis yang bersifat kronis dan sistemik. Proses pembukaan lahan, baik melalui praktik pembakaran maupun konversi hutan primer, menyebabkan degradasi ekologis yang signifikan: deforestasi, hilangnya biodiversitas, serta disrupsi terhadap sistem hidrologi lokal.
Lebih jauh, praktik ini turut memicu kebakaran hutan yang meluas, menghasilkan kabut asap lintas wilayah, peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), serta kerugian ekonomi akibat terganggunya transportasi, pendidikan, dan produktivitas kerja. Data Global Forest Watch (2023) mencatat bahwa Indonesia kehilangan sekitar 9,7 juta hektare tutupan hutan primer antara tahun 2002–2022, dengan sebagian besar deforestasi terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Riau, dan Jambi, empat wilayah yang juga merupakan sentra utama industri sawit nasional.
Fakta ini memperlihatkan bahwa ketidakseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan bukan sekadar ancaman ekologis, melainkan juga ancaman terhadap ketahanan kesehatan dan stabilitas sosial-ekonomi regional.
Studi SEI (Stockholm Environment Institute, 2020) menunjukkan bahwa industri sawit menyumbang hampir 40% deforestasi tropis Indonesia dalam dua dekade terakhir.
Namun, pendekatan ekonomi yang dominan masih gagal menginternalisasi biaya lingkungan ke dalam harga dan struktur insentif industri sawit. Skema sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), yang hanya mencakup sebagian kecil dari total luas kebun sawit nasional, belum cukup kuat dalam mendorong perubahan perilaku karena sifatnya yang sukarela dan lemahnya sistem pengawasan serta sanksi.
Diperlukan pendekatan kebijakan berbasis command and control yang lebih kuat, termasuk penerapan moratorium berbasis evaluasi spasial (seperti yang tertuang dalam Inpres No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit), pengenaan disinsentif fiskal bagi pelanggaran lingkungan, serta dukungan insentif hijau untuk konversi ke praktik agroforestri dan sawit berkelanjutan berbasis lanskap.
Ketiga, konflik sosial dalam industri sawit tidak bisa dilepaskan dari kegagalan distribusi nilai tambah secara inklusif.
Di balik narasi surplus produksi dan kontribusi ekspor CPO di mana pada tahun 2022 ekspor sawit Indonesia mencapai USD 39 miliar (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia / GAPKI, 2023) terdapat realitas kontradiktif di tingkat tapak, minimnya akses masyarakat lokal terhadap lahan produktif, rendahnya posisi tawar petani plasma dalam skema kemitraan, serta keterbatasan transfer teknologi dan kelembagaan.
Studi World Resources Institute (WRI) pada 2021 menunjukkan bahwa desa-desa penghasil sawit di Kalimantan dan Sumatra cenderung memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) lebih rendah dibanding rata-rata provinsi.
Alih-alih menjadi sarana pemberdayaan ekonomi, kemitraan sawit kerap kali berujung pada ketergantungan struktural terhadap perusahaan inti, dengan pola relasi yang tidak setara dan rentan terhadap praktik eksploitatif.
Sementara petani plasma menerima margin keuntungan yang jauh lebih kecil, perusahaan besar mendominasi rantai pasok dan pengolahan.
Ketimpangan ini semakin menguat karena belum adanya kebijakan afirmatif yang cukup kuat untuk memperkuat koperasi petani, mendorong distribusi insentif berbasis kontribusi lokal, serta mengintegrasikan sawit ke dalam rantai pasok hilir di tingkat daerah.
Tanpa intervensi kebijakan yang mengarah pada redistribusi manfaat secara adil dan penguatan posisi petani dalam rantai nilai, industri sawit hanya akan mereproduksi kemiskinan struktural dalam lanskap megah ekonomi nasional.
Ke depan, kebijakan sawit harus bertransformasi dari logika akumulasi menuju model yang regeneratif, adil, dan berkelanjutan. Tiga lapis konflik di atas menunjukkan bahwa industri sawit tidak hanya menghadapi tantangan teknis, tetapi juga masalah mendasar dalam tata kelola dan distribusi kekuasaan.
Negara tak boleh sekadar menjadi fasilitator modal, tetapi harus hadir sebagai penyeimbang kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial. Reformasi agraria, penegakan hukum, penguatan kelembagaan petani, dan hilirisasi industri lokal mesti menjadi agenda prioritas. Sebab di balik data spasial tersembunyi konflik structural, siapa menguasai, siapa diuntungkan, dan siapa yang dikorbankan.
Jika sawit ingin tetap menjadi tulang punggung ekonomi nasional, maka ia harus dibebaskan dari ketimpangan dan eksploitasi.
Diperlukan kebijakan yang menempatkan keadilan spasial dan perlindungan hak agraria sebagai bagian integral dari tata kelola industri sawit. Tanpa reformasi struktural yang menyentuh akar persoalan, peluang sawit untuk berkontribusi pada kesejahteraan berkelanjutan akan terus terhambat oleh dinamika konflik yang berulang.