Jati Savitri Sekargati
PhD Candidate in Media and Journalism, Glasgow Caledonian University
Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia tinggal menghitung hari, penyebaran ujaran kebencian yang menargetkan tokoh-tokoh politik diperkirakan akan semakin meningkat, seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.
PBB mendefinisikan ujaran kebencian sebagai komunikasi apa pun yang menyerang individu atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif terhadap individu berdasarkan agama, etnis, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, atau jenis kelamin.
Selama Pemilu 2019, terdapat lebih dari 200.000 mention di Twitter yang berisi ujaran kebencian yang ditargetkan kepada calon presiden, Joko “Jokowi” Widodo dan Prabowo Subianto, beserta calon wakil presiden mereka masing-masing.
Jumlah tersebut mencapai sekitar 0,2% dari total tweet terkait pemilu pada tahun 2019. Sebagai perbandingan, dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) tahun 2016, ujaran kebencian menyumbang antara 0,1% dan 0,3% dari total satu miliar tweet terkait pemilu.
Sebagai bagian dari peran saya sebagai peneliti untuk proyek Pemantauan Ujaran Kebencian (Greater Internet Freedom) Harmful Speech Monitoring, yang didukung oleh media nirlaba independen Internews, saya melakukan pengamatan terhadap platform-platform media sosial selama periode Juni-Juli 2023. Saya menemukan bahwa pola yang sama muncul dalam Pemilu 2024.
Penelitian saya menemukan setidaknya 60 contoh ujaran kebencian (terutama di Twitter), dengan 45 di antaranya mengandung nuansa politik. Beberapa komentar ofensif ditujukan kepada tiga calon presiden – Prabowo, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo. Hal ini sudah terjadi bahkan sebelum ketiganya secara resmi ditetapkan sebagai kandidat oleh KPU.
Ujaran kebencian terhadap calon presiden di X
Penelitian saya berfokus pada platform X (dulunya dikenal sebagai Twitter), karena menurut Laporan Survei Nasional dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Twitter mengandung informasi yang paling mengganggu dibandingkan dengan platform media sosial lainnya.
Saya menggunakan analisis kata kunci dan kontekstual untuk mengidentifikasi ujaran kebencian dalam penelitian saya.
Kata kunci yang saya gunakan antara lain nama-nama politikus (“anies baswedan”, “anies”, “prabowo subianto”, “prabowo”, “ganjar pranowo”, “ganjar”), serta frasa-frasa umum lainnya seperti “pilpres” atau “pemilihan presiden” dan “pemilu 2024”.
Pada 31 Agustus 2023, 60 unggahan ujaran kebencian yang saya identifikasi telah dibagikan sebanyak 6.827 kali di X, YouTube, dan TikTok.
Salah satu akun dengan nama samaran, misalnya, mengunggah konten kebencian tentang Ganjar Pranowo sebagai pembohong dan pecandu pornografi. Hal itu sebagai tanggapan atas pernyataan Ganjar di podcast YouTube pada tahun 2019 bahwa “tidak ada yang salah dengan menonton film porno” dan “saya menyukainya”. Faktanya, mayoritas orang Indonesia menganggap menonton film porno tidak dapat diterima secara moral.
Akun anonim lainnya menyebarkan sentimen negatif tentang Prabowo Subianto terkait perannya dalam pembelian jet tempur bekas, yang akhir-akhir ini juga memicu kecaman dari masyarakat.
Unggahan tersebut menggunakan tagar seperti #Prabohong #Bahaya (Prabowo pembohong dan berbahaya). Twitter kemudian menangguhkan akun tersebut karena melanggar kebijakan profil kebencian.
Anies Baswedan juga menjadi sasaran ujaran kebencian di X. Di pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta tahun 2017, Anies mendapat dukungan besar dari kelompok Islam garis keras. Ini banyak diyakini menjadi salah satu faktor utama yang membantunya memenangkan Pilgub.
Pada bulan Juli, sebuah akun troll dengan hampir 42.000 pengikut mengunggah video berdurasi satu menit yang menampilkan Anies bersama beberapa pemuka agama Islam dalam sebuah acara. Para pemuka agama tersebut menyebutkan bahwa Anies adalah satu-satunya gubernur di dunia yang menerima 65 penghargaan dalam setahun.
Menurut pengguna akun tersebut, hal itu adalah sebuah kebohongan. Akun itu memuat tagar #GubernurTukangNgibul. Postingan tersebut menerima 42 komentar, sebagian besar mengungkapkan kebencian terhadap Anies.
Dampaknya di dunia nyata
Yang membuat ujaran kebencian berbahaya di Indonesia adalah hal tersebut dapat berujung pada tindakan negatif yang berlebihan di dunia nyata (offline), termasuk dalam bentuk hasutan dan ajakan untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil dan untuk terlibat dalam tindakan kriminal lainnya.
Pada tahun 2016, misalnya, unggahan-unggahan bernada kebencian dan bertema agama di media sosial terhadap calon gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, yang merupakan seorang Kristen, berubah menjadi unjuk rasa besar-besaran di Jakarta oleh sejumlah kelompok Islam konservatif. Mereka menuntut Ahok dipenjara karena telah menistakan agama Islam. Ahok kemudian divonis hukuman dua tahun penjara karena hal tersebut.
Apa yang bisa kita lakukan
Pengguna dapat melaporkan unggahan dan akun yang melanggar kebijakan X tentang kekerasan dan kebijakan konten kebencian.
Namun, platform ini harus meninjau dan mengevaluasi unggahan yang dilaporkan sebelum bertindak, sehingga pada saat X akhirnya menghapus konten, beberapa konten sudah terlanjur viral dan memengaruhi publik.
Pemerintah, organisasi hak-hak sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan platform media sosial harus bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran akan isu ini menjelang Pemilu bulan depan.
Untuk mengatasi ujaran kebencian dan disinformasi, mereka harus bekerja sama dalam memantau dan menganalisis konten semacam itu ketika ditandai, mengidentifikasi aktor dan akar masalah di balik konten tersebut, serta merumuskan peraturan yang lebih kuat untuk melindungi para korban.