banner 728x250
OPINI  

Saladin, Pembebas Palestina

banner 120x600
banner 468x60

Catatan Asro Kamal Rokan

MESIR tidak saja mumi Firaun, Piramid, dan Universitas Al Azhar, tapi juga citadel Salahuddin Al-Ayyubi. Berada dalam kota Kairo, citadel (benteng) ini sudah terlihat dari kejauhan.

banner 325x300

Bangunannya tinggi dan berada di atas Jabbal Muqattam. Dari benteng ini, pengunjung dapat melihat kota Kairo.

Memasuki benteng, ada pintu gerbang dan sejumlah menara. Tinggi dinding 10m dengan ketebalan tiga meter.

Setiap menara — yang masing-masing berjarak seratus meter— terdapat lobang untuk pasukan pemanah.

Salahuddin membangun benteng ini pada 1176 dan 1183 M, untuk melindungi kota Kairo.

Benteng kokoh berlapis tiga, yang terdiri pertahanan jarak jauh untuk pemanah dan meriam, kemudian ruang terbuka untuk pasukan, dan sejumlah lorong bercabang sekitar 2.000 meter.

Di ruang bawah, ada ruangan untuk pasukan beragama Nasrani beribadah.

Di pelataran atas benteng itu kini berdiri Masjid Muhammad Ali Pasha.

Masjid berasitektur Turki Ottoman ini didirikan pada 1830-1848, ketika Mesir dipimpin Muhammad Ali.

Masjid ini memiliki dua buah menara dengan ketinggian 82 meter.

Kubahnya mirip Masjid Biru di Istanbul, Turki. Pada 1976, UNESCO memjadikan benteng ini sebagai Situs Bersejarah Warisan Dunia.

Saya masuk ke benteng ini pada Oktober 2010, merasakan denyut para suhada di bawah pimpinan Salahuddin, yang berjuang pada Oktober 1187 merebut kembali kota suci Yerusalem, setelah 88 tahun dikuasai Pasukan Salib.

Saladin

Dunia Barat menamainya Saladin. Nama lengkapnya Yusuf bin Najmuddin al-Ayyubi, namun lebih populer dengan nama Salahuddin Al-Ayyubi.

Dilahirkan di Tikrit, Irak, 1137 M, Salahuddin bukan asli Mesir, melainkan Kurdi, namun memimpin Mesir dan mendirikan Dinasti Ayyubiyyah, yang berkuasa di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, serta Mekkah.

Setelah menundukkan Dinasti Fathimiyah, yang Shiah, Salahuddin —yang dikenal juga sebagai ulama Sunni — ini menata pemerintahan baru di Kairo, yang berpusat di Bukit Muqattam, tempat yang kini dikenal sebagai Benteng Salahudin atau Qal’ah Salahuddin, Citadel of Salah al-Din.

Salahuddin mendirikan banyak madrasah dan rumah sakit.

Salahuddin memperlihatkan ketangguhannya sebagai pemimpin dengan mematahkan serangan Tentara Salib dan pasukan Romawi Binzatium di Mesir.

Pada Oktober 1187, Salahuddin — yang menyatukan pasukan Mesir dan Suriah — menyerang dan berhasil menguasai Yerusalem, yang selama 88 dikuasai pasukan Salib.

Kekalahan ini sangat memukul para pemipin negara-negara Eropa —Jerman, Prancis, Portugal, dan Inggris — yang tergabung dalam Pasukan Salib.

Mereka menyiapkan pasukan yang dikomandoi Richard 1 (Richard Lion Heart) dari Inggris. Perang Salib lll pecah pada 1189-1192.

Perang tiga tahun itu menyebabkan Siprus dan pesisir Suriah direbut Pasukan Salib, namun mereka gagal mengambil kembali Yerusalem dari pasukan Salahuddin.

Pada 2 September 1192, Richard dan Saladin membuat perjanjian, yang isinya Yerusalem tetap dalam kendali kaum Muslim dan para pedagang serta penziarah Kristen tetap diperkenanan mengunjungi Yerusalem.

Peseteruan Salahuddin dengan Richard si Hati Singa melahirkan berbagai cerita Sejumlah film mengangkat kisah ini, di antaranya film Richard The Lion Heart (dibintangi Sean Connery), Empires-Holy Warriors, Kingdom of Heaven, dan The Crusades.

Saladin sebagai panglima perang berhati mulia dan mendasarkan tindakannya mengikuti ajaran Islam.

Ketika menaklukkan Yerusalem, tidak seorang pun penduduk non-Muslim yang dibunuh. Saladin bahkan mengizinkan penganut agama lainnya beribadah.

Ini kontras dengan yang dilakukan Tantera Salib ketika menguasai Yerusalem. Penduduk sipil Yahudi dan Islam dibunuh.

Pada Perang Salib lll itu, ketika Richard sakit, Saladin mengirim dokter terbaiknya merawat Richard hinga sembuh.

Saladin menyebutkan, Islam melarang membunuh lawan yang lemah.

Sosok kepemimpinan Saladin ini menawan hati peneliti Barat.

Karen Amstrong dalam bukunya Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, menulis, Saladin menaklukkan Yerusalem menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi.

”Dia bukan pendendam, dia tidak membalas pembantaian perang sebelumnya.”

Penulis Barat lainnya, Philip K Hitti juga memuji perilaku Saladin.

”Di Eropa, Saladin telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum kesatria,” ungkap Hitti.

Menurut Hitti, sifat penyayang dan belas kasihan Saladin sangat jauh berbeda dibanding kekejaman tentara Perang Salib.

Sedangkan Lane-Poole menulis, kebaikan hati Saladin mampu mencegah dan meredam amarah umat Islam dari upaya balas dendam.

“Saladin menunjukkan akhlaknya ketika orang Kristian menyerah kalah.

Tentaranya sangat bertanggungjawab, menjaga peraturan di setiap jalan, mencegah segala bentuk kekerasan sehingga tidak ada kedengaran orang Kristian dianiaya.”

Ketika Presiden AS, George W Bush mengobarkan crussade melawan terorisme, setelah serangan ke The World Trade Center, 11. September 2001, editor The Guardian Inggris, Ewen MacAskill, mengecam Bush.

Di The Guardian, 1 Oktober 2001, MacAskill menulis, Bush harus belajar dari pejuang Arab.

Pada 1099, ketika tentara salib Kristen merebut Yerusalem, mereka membantai setiap Muslim dan Yahudi — pria, wanita dan anak-anak — dimulai pada sore hari dan terus berlanjut hingga malam.

“Ketika Saladin mengambil alih Yerusalem pada 1187, dia menyelamatkan semua orang dan keesokan harinya mengizinkan pengikut dari setiap agama untuk beribadah di tempat suci mereka di dalam kota,” tulis Ewen MacAskill dalam judul Bush Should Learn from the Restraint of Saladin Rather than the Blood-letting of the crusaders.

Benteng Salahuddin Al Ayyubi di Kairo sangat megah.

Saya mengelililingnya dengan bangga bercampur perih. Salahuddin telah membebaskan Yerusalem, sayangnya generasi berikutnya — terutama para pemimpin Mesir dan Timur Tengah — gagal mempertahankannya.

Mereka sibuk memikirkan dirinya sendiri, bertikai, dan mengambil bagian dari kegagalan mengembalikan Yerusalem — hingga kini.

* Dari Buku Granada Menangislah – Catatan Perjalanan Lima Benua

* Penulis mantan Pemimpin Redaksi Harian Republika, Jakarta, mantan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN Antara).

banner 325x300