Oleh : Dr.Arfa’i, SH.MH.
SUATU penomena yang sangat menarik untuk disimak sekaligus untuk dipikirkan adalah semakin banyaknya prilaku tindakan pidana korupsi di negara Republik Indonesia.
Bahkan hari hari ini 3 lembaga penegak hukum berlomba-lomba untuk menegakkan korupsi, sebut saja ada KPK, kejaksaan dan Kepolisian.
Dinamikanya menjadi aneh semakin dikejar penegakkan korupsi oleh 3 lembaga tersebut justru korupsi semakin banyak dan besar, seperti korupsi yang baru baru ini di tangani oleh Kejaksaan Agung terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022, mencapai Rp 300 triliun.
Namun demikian, menjadi aneh lagi ketika penegak hukum sedang menegakkan korupsi,malah ada penegak hukum juga yang laporkan ke Lembaga pengak korupsi. Penomena ini dapat dinilai samrawutnya tindak korupsi di Negara Republik Indonesia.
Walaupun demikian, patut kita ekspresiasi keberhasilan KPK, kejaksaan dan kepolisian dalam melakukan pemberantasan korupsi patut kita bangga sebagai suatu keberhasilan yang patut dihargai.
Hal ini didasari bahwa tidak sedikit para pajabat pemerintahan yang ditangkap KPK dan berakhir dalam penjara.
Keberhasilan KPK tersebut bukanlah suatu yang patut kita gembirakan semata dengan melupakan tugas berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hal ini mesti disadari data Indeks Persepsi Korupsi yang baru saja diluncurkan Transparency International Indonesia.
Di mana skor pada tahun 2023 mengalami stagnasi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115. Jika ditarik ke belakang, skor IPK Indonesia saat ini sama dengan saat pertama kali Presiden Jokowi menjabat sebagai Presiden pada tahun 2014.
Dalam pemberantasan korupsi tidak hanya bisa dengan penangkapan terhadap pelakunya saja tetapi lebih melihat pada pemecahan akar masalahnya/pencegahan.
Kalau diibaratkan panyakit kulit sebut saja ”Panu” yang ada pada kulit seseorang akan sembuh jika obat yang diberikan mampu membunuh akar penyakit tersebut. Begitu juga penyakit korupsi jika obat yang diberikan hanya pada meruntuhkan batang dan daunnya saja dalam artian menangkap dan memenjarakan pelakunya saja, maka tidak akan bisa menyembuhkan penyakit korupsi itu sendiri.
Akar Permasalahan pada korupsi
Jika dikaji lebih dalam dapat ditarik kesimpulan bahwa, yang menjadi akar penyakit korupsi adalah (1). Sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan yang hanya mengedepankan nilai-nilai kepintaran dari segi intelektualnya saja dengan mengenyampingkan nilai kepintaran emosional dan spritual.
Dalam tataran konsep semua elemen pendidikan penyadari bahwa ketiga tingkatan kepintaran tersebut harus didapat oleh setiap siswa tetapi dalam prakteknya yang ditonjolkan hanya intelektualnya saja.
Misalnya seseorang akan dikatakan pintar jika memperoleh nilai bagus sementara itu bagaimana proses mendapatklan nilai tersebut tidak pernah diperhatikan.
Akibatnya terciptalah anak bangsa sebagai generasi baru yang berprilaku instan yaitu dalam mendapatkan sesuatu dengan menghalalkan segala cara tanpa melihat aturan dan etika yang hidup dalam masyarakat.
Permasalahan tersebut tidak hanya terletak pada guru atau dosen saja tetapi terkait dengan beberapa elemen yaitu siswa/mahasiswa itu sendiri, orang tua, sistem kurikulum dan sistem pendidikan.
Sinerginya elemen-elemen tersebut akan pentingnya kualitas emosional dan spritual merupakan langkah awal untuk membenahi sistem pendidikan.
(2). Penguatan pencegahan korupsi pada setiap jenjang pendidikan.
Dalam kenyataannya UU Korupsi dan UU lainnya sudah dilakukan sosialisasi melalui media dan sosialisasi dilakukan dengan mengadakan seminar-seminar yang hanya dihadiri oleh pihak-pihak tertentu tanpa adanya sosialisasi sistematis dan berjenjang.
Perlu jika dipahami bahwa korupsi itu terjadi karena adanya penerimaan atas perbuatan korupsi oleh masyarakat sehingga membuat pelaku korupsi tidak merasa bersalah bahkan menganggap dirinya didzolimi atau menjadi korban.
Konteks ini, jangan heran ada pelaku korupsi setelah keluar penjara disambut ramai ramai oleh masyarakat, ada juga pelaku korupsi dianggap orang yang berjiwa sosial tinggi karena sering memberikan bantuan dan sumbangan kepada masyarakat sehingga diabaikan penilaian atas prilaku koruptinya.
Oleh karena itu penyadaran kepada masyarakat atas ketentuan hukum mengenai korupsi ini menjadi penting.
Jika masyarakat tidak mengetahui prihal ketentuan hukum mengenai korupsi, maka ada dua kelemahan yang didapati yaitu : pertama, masyarakat sebagai kontrol terhadap terjadinya tindak pidana korupsi tidak mempunyai tolak ukur untuk melakukan kontrol. Kedua, Aparatur pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan juga tidak memahami hakekat tindak pidana korupsi secara hukum yang tidak boleh mereka lakukan.
Langkah Pencegahan
Pencegahan samrawutnya Tindak pidana korupsi sebagai upaya menciptakan generasi yang bebas korupsi menjadi tanggungjawab seluruh elemen masyarakat tidak hanya diserahkan kepada pemerintah dan KPK atau kejaksaan, kepolisian semata.
Oleh karena itu, obat korupsi yang bisa membasmi akar permasalahan samrawutnya tindak pidana korupsi sebagai penyebab korupsi adalah memperbaiki sistem pendidikan yang mengedepankan penciptaan karakter yang berbasis kepentintaran emosional dan mengintensifkan sosialisasi UU tentang tindak pidana korupsi pada semua elemen masyarakat terutama pada setiap jenjang pendidikan.
Dalam UU No 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, Pasal 6 ditegaskan Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas, Huruf (a). melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
Kemudian dalam Pasal 7 ditegaskan kembali bahwa dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, komisi pemberatasan korupsi berwenang melakukan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut : huruf c. menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan.
Pasal tersebut menggarisbawahi bahwa pencegahan korupsi juga dilakukan dalam setiap jenjang pendidikan termasuk perguruan tinggi dalam bentuk program pendidikan.
Namun demikian, dewasa ini pasal ini Cuma dimaknai menghadirkan mata pelajaran anti korupsi di sekolah sekolah. Padahal, kalaulah kita tafsirkan bahwa program pendidikan ini menjadi komitmen bersama setiap jenjang pendidikan, tidak hanya ada meteri anti korupsi pada mata pelajaran/mata kuliah, namun lebih ditekan pada mentaati segala aturan dan etika dalam dalam mendapatkan nilai di setiap mata pelajaran/mata kuliah tersebut.
Dalam hal ini sistem pendidikan mesti berbenah baik di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi yakni komitmen membentuk anak bangsa pada proses pendidikannya, bukan formalitas pendidikanya.
Luaran pendidikan bukan terfokus pada nilai angka/huruf di raport tinggi, atau IPK tinggi atau kuliah cepat selesai atau punya keahlian untuk dunia kerja dengan memudahkan proses memperoleh nilainya, namun seharusnya pendidikan itu lebih difokuskan pada penguatan komitmen pada setiap guru/dosen, orang tua dan lembaga pendidikan untuk memperkuat proses pelajar/mahasiswa memperoleh nilai dengan mentaati segala aturan dan etika yang sudah ditetapkan oleh sekolah/universitas sehingga tercipta kualitas emosional pada diri lulusan. Dengan demikian, setidaknya mampu mengatasi samrawutnya korupsi di Negara Republik Indonesia ini.*
Dr.Arfa’i.SH.MH.
Dosen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Univ.Jambi