Oleh: Dempo Xler (*)
Seorang Sufi berkata: “Islam itu agama keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan. Tarekat itu metodologi, atau jalan penghambaan dan Sufi itu adalah orang yang mencintai Allah dan berzikir dalam ketaatan” (Marthin).
Korupsi merupakan tindakan amoral yang tidak dibenarkan oleh negara dan agama dimanapun berada. Korupsi bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai luhur yang melekat pada diri seorang mukmin.
Siapapun mukminnya, apabila berpegang teguh pada agama Allah dan Rasul-Nya, maka korupsi dalam nama dan bentuk apapun, menjadi musuh bersama.
Diberantas dan dihilangkan sejak dini. Karena korupsi sangat merusak kesejahteraan sosial masyarakat di manapun berada.
Tarekat Sufi dimanapun di belahan bumi, telah menyatakan bahwa perbuatan korupsi merupakan perihal yang amat sangat dihindari.
Bertentangan dengan kemaslahatan sosial dan sebagai bukti kejahatan yang tidak bisa di tolerir.
Bagi Tarekat Sufi, seorang mukmin harus menguasai sifat jujur (al-shodiq). Kemudian menjunjung tinggi amanat (al-amin) dermawan (al-shako), kasih sayang (al-rahim), suka menolong (al-ta’awun).
Hal ini memang diajarkan dan ditekankan dalam Tarekat Sufi. Tentunya memberikan dampak perbaikan bagi diri sendiri dan masyarakat luas.
Sedangkan seorang koruptor merupakan cerminan pribadi yang menipu (al-kadzib), pengkhianat (al-kha’in), serakah (al-thama) kejam dan buas (al-mutawakhish). Karena itu, sifat dan perilaku tersebut harus dihancurkan. Dibuang jauh dengan cara memperbanyak riyadhoh dan berzikir.
Agar terhindar dari tipuan halus setan dan hasutan manusia serta terbentengi dari perbuatan tersebut.
Selain itu, semua pelaku Tarekat Sufi, selalu menjunjung tinggi kekuatan hukum. Peraturan yang berlaku dalam negara yang menaunginya.
Karena kepatuhan tersebut adalah kedaulatan kebaikan secara bersama.
Tarekat Sufi, akan selalu mematuhi dan bersama pemerintah. Siap sedia membantu dalam pemberantasan korupsi yang dimulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan dan struktur sosial.
Patut disyukuri bahwa, seluruh Tarekat Sufi yang ada di Indonesia dan dunia, menjunjung tinggi aturan hukum dan kehidupan kemanusiaan sebagai makhluk ciptaan Allah.
Serta menolak dengan tegas bahkan memerangi kejahatan korupsi yang dapat merusak seluruh tatanan hidup masyarakat yang berkeyakinan, berbangsa dan bernegara.
Dalam perspektif tasawuf, dedikasi sosial dalam membantu pemerintah menegakkan hukum. Guna memberantas korupsi merupakan tanda keimanan dan kedalaman spiritualitas seseorang yang hanya berkonsentrasi pada realisasi kedekatan terhadap Tuhan.
Bagi Tarekat Sufi, orang yang mengaku beriman dan bertauhid secara benar. Namun tidak peka terhadap kebutuhan orang lain, maka hakikatnya dia belum terlepas sepenuhnya dari unsur kemusrikan. ‘Abd al-Qadir alJaelani (2007).
Tasawuf, sebagaimana dijelaskan oleh Helminski (2000), adalah sebuah jalan yang menekankan kesadaran diri (selfawarness).
Ketergantungan antar sesama manusia (human interdependency), kreativitas, amal praktis, keadilan sosial, dan cinta ilahi yang utama.
Oleh karena itu, tasawuf merupakan jalan spiritualitas seseorang yang tertuntun. Sangat berharmoni dengan seluruh aspek kebaikan manusia.
Tidak mempertentangkan pencapaian spiritual dengan kehidupan individual dan sosial. Karena tarekat sufi mengedepankan moral, apalagi merusaknya dengan sistematika korupsi yang tidak bermoral.
Intinya, selain mengajarkan bagaimana sepatutnya menghamba kepada Tuhan. Tasawuf mengajarkan bagaimana berkhidmat total kepada sesama makhluk yang berasal dari Tuhan.
Bertindak zalim dan merugikan banyak orang dalam perspektif ini merupakan tanda dangkalnya keimanan dan keringnya nilai-nilai ruhani seseorang.
Tindak pidana korupsi dari sudut pandang tasawuf, merupakan efek dari cinta dunia yang menipu dan ingkar kepada Allah.
Cinta dunia dapat membutakan mata hati kepada Allah. Sehingga orang yang terjangkit penyakit ini akan merusak segala aturan dan hukum demi memuaskan hasrat ketidak benarannya.
Al-Ghazali (2004), mengatakan bahwa, kenikmatan dunia dalam hati ibarat kenikmatan makanan yang masuk ke dalam perut.
Ketika mati, seseorang akan mendapati kenikmatan dunianya selama ini berbau busuk dan menjijikkan. Menjadi lebih buruk dan menyengat.
Begitu pula setiap syahwat hati yang lebih menggoda dan membutakan, bau busuknya lebih besar dan sangat mengganggu.
Oleh sebab itu, dalam pandangan al-Ghazali, dunia ibarat kapal penumpang yang singgah di sebuah pulau untuk istirahat dan mengisi bekal keperluan.
Jangan sampai terlena di persinggahan ini. Sehingga lupa bahwa kita sedang dalam perjalanan menuju pulau akhirat, tempat kebahagiaan sesungguhnya.
Olah spiritual (riyadhah) yang dijalankan oleh kaum tarekat sufi dalam hal ini, merupakan terapi untuk menekan dan meluruskan kecenderungan duniawi.
Dalam tradisi tasawuf, memerangi cinta dunia, digambarkan sebagai induk segala dosa, mengharuskan seseorang untuk benar-benar mengolah hati dan jiwanya agar mencapai kualitas spiritual yang sempurna dan bermaqam zuhud. ‘Isa (2001).
Orang zuhud di dalam Tarekat Sufi, secara otomatis akan bersikap wara’ (hati-hati) ketika berhubungan dengan kepentingan harta banyak orang.
Wara’ dalam tradisi tasawuf adalah menjauhi perbuatan-perbuatan yang hukumnya belum jelas, supaya tidak terjerumus kepada hal-hal yang hukumnya jelas haram (‘Isa, 2001).
Dengan demikian, wara’mengajarkan pelaku tarekat sufi untuk berhati-hati dalam segala hal, terlebih ketika berkaitan dengan hak harta orang lain, terutama terhadap hak dan harta rakyat banyak.
Jangan sampai keserakaan dan ketamakan mendorong seseorang untuk memperkaya diri dan koleganya, namun di sisi lain merugikan negara serta kepentingan rakyat.
Ketua Dewan Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Indonesia, asuhan Buya Syekh Muhammad Rasyid Syah Fandi yang berpusat di Bengkulu, yakni Al-Mukarrom Syekh Muhammad Ali Idris mengatakan bahwa, dalam upaya menciptakan kebaikan Bangsa dan Negara serta untuk mewujudkan kedamaian bagi manusia, hewan, tumbuhan dan seluruh alam ciptaan Tuhan.
Maka tidak ada jalan lain yang lebih utama untuk dilakukan selain dari pada mendekatkan diri kita kepada Allah Tuhan Rambbul Alamin.
Menurutnya, seluruh kejahatan yang dilakukan manusia di muka bumi ini, terutama korupsi, terjadi karena manusia tidak ingat lagi untuk berzikir dan kembali ke jalan Allah yang diridhoi.
Karena itu, kejahatan korupsi yang dilakukan oleh manusia merupakan hasil dari niat, gerak, kehendak dan perbuatan yang sumbernya berasal dari dalam lubuk hati.
Hati inilah yang menjadi pusat pergerakan segala sesuatu yang akan menunjukkan kebaikan dan kejahatan manusia terhadap apa yang akan dilakukannya dimuka bumi ini.
Baik secara pribadi, kelompok atau golongan. Baik langsung (tersurat) atau tidak langsung (tersirat).
Karena itu, korupsi bagi seluruh pengamal Tarekat Sufi khususnya Tarekat Naqsyabandiyah Indonesia dibawah bimbingan Syekh Ali Idris, menolak dengan keras perbuatan korupsi dan memeranginya dengan cara mengembalikan proses tersebut kepada kewajiban dan konstitusi negara sebagai pelayan dan pemangku utama dalam masyarakat.
Sedangkan bagi pelaku korupsi dan masyarakat pada umumnya, harus kembali kepada jalan Ketuhanan. Dengan demikian, pendidikan hati bagi manusia dapat dilakukan.
Mereka terlebih dahulu dikembalikan dan diperkenalkan tentang Allah dan aturan-Nya beserta seluruh lingkup kebaikan-Nya.
Setelahnya, senantiasa dituntun dalam membersihkan diri dengan cara berzikir kepada Allah sampai tidak terlepas lagi kepada Allah dalam rangka menjadikan hamba yang taat, tunduk, patuh dan taqwa.
Paktek riyadah (olah jiwa) dan zikir yang berkelanjutan, akan mampu mentranformasikan jiwa berbudi luhur dan berakhlak mulia.
Pemberdayaan nilai-nilai tasawuf di kalangan masyarakat, para pejabat dapat meningkatkan moral kebangsaan dan mempertebal semangat dedikasi bagi masyarakat, bangsa dan negara serta dapat membakar lebih jauh perilaku curang tentang eksploitasi uang negara serta pemanfaatan jabatan untuk liarnya kepentingan diri sendiri, golongan dan kelompok semata.
Indonesia yang memiliki Pancasila sebagai ideologi bangsa yang termaktub dalam pernyataan sila pertama dan kelima. Telah mengajarkan nilai-nilai ketulusan, kejujuran, integritas moral, dan tanggung jawab sosial dalam mengarungi dinamika kehidupan.
Begitu pula tasawuf, merupakan sisi ruhani Islam yang mengajarkan sikap zuhud, wara, itsar, dan khidmat sosial. Dalam konteks pemberantasan budaya korupsi, Pancasila dan tasawuf bertemu pada titik konvergensi yang saling menguatkan.
Karena keduanya sama-sama memberikan dan mengajarkan nilai-nilai moral yang berorientasi pada pemupukan integritas diri dan kesalehan moral-spiritual.
Internalisasi nilai-nilai Pancasila dan tasawuf ini dalam tubuh masyarakat melalui konstitusi, dapat dilakukan melalui sosialisasi, penegasan, dan pembudayaan dalam praktik keseharian. Dari sini, diharapkan dapat menempa budi luhur dan sikap anti korupsi yang telah lama menggurita.
Kombinasi Pancasila dan tasawuf dalam menginternalisasikan budaya antikorupsi dianggap dan terbilang cukup strategis. Mengingat esensi ibadah tasawuf hanya bertujuan untuk mensucikan diri dari kotoran-kotoran ruhani, terutama dari cinta dunia, gila harta, dan sahwat jabatan, yang merupakan pangkal segala kejahatan dan perilaku korupsi.***
Penulis,
Ketua Komisi I
DPRD Provinsi Bengkulu
Sumber: partnership jaringan media SMSI bengkulu.siberindo.co