banner 728x250
OPINI  

Tepatkah Perkara Korupsi Diberikan Amnesti dan Abolisi ?

Dr.Arfa’i,S.H.,M.H. Dosen Hukum Tata Negara, Fak Hukum Univ Jambi

Oleh : Dr.Arfa’i,S.H.,M.H. (*)

DEWASA ini jagat raya bumi pertiwi berguncang hebat menjadi heboh sejagat sebagai akibat Keputusan Presiden yang secara langsung menghentikan perkara yang sedang dalam proses, sekaligus menampar para pihak yang sedang menyidangkan perkara tersebut atas nama persatuan atas nama keadilan yakni pemberian Amnesti pada perkara Hasto dan Abolisi pada perkara Tom Lembong. Kedua perkara tersebut tergolong jenis perkara dugaan tindak pidana korupsi.

banner 325x300

Tentunya sudah diketahui publik, dua perkara ini menjadi heboh karena dua orang yang diproses hukum tersebut merupakan tokoh yang dikenal publik dan mampu mengisi semua lini pemberitaan, perbincangan di medsos maupun di televisi sejak perkaranya dimulai.

Andai saja perkara tersebut bukan dua tokoh ini, misalnya terjadi pada seorang kepala desa di polosok negeri barangkali tidak akan heboh sejagat, bahkan bisa jadi tidak sampai pada keluarnya Amnesti dan Abolisi.

Oleh karena itu, publik menilai proses hukum dewasa ini sangat dipengaruhi persefsi public, ketokohan dan kekuatan politik atau basis massa yang dimiliknya.

Sehingga dari sudut pandang ini akan diukur seberapa besar pengaruh orang yang sedang diproses hukum pada gangguan ketentraman dan kenyamanan pemegang kekuasaan sehingga mengabaikan pembuktian dugaan ketidakadilan melalui mekanisme hukum pidana yang berlaku dan sudah diajarkan pada setiap aparatur penegak hukum yakni polisi, jaksa dan hakim.

Walaupun demikian, Ketika Amnesti sudah diputuskan oleh Presiden, maka sejak saat itu sudah menjadi putusan hukum dan tidak dapat dicabut kembali kecuali Presiden sendirilah yang mencabutnya. Oleh karena itu, agar tidak salah tafsir terkait amnesti dan abolisi ini, maka diperlu pahami oleh public apa itu Amnesti dan Abolisi?, apa dasar hukumnya presiden memiliki kewenangan terkait hal itu.

Amnesti, Abolisi dan Kewenangan Presiden

Secara konstusional, kata Amnesti, Abolisi dan kewenangan Presiden diatur pada Pasal 14 ayat (2) UUDNRI 1945 yang menegaskan “Pesiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Adapun pengertian amnesti dan abolisi sendiri secara yuridis tidak ada diketemukan pengertian secara rinci, dalam undang-undang yang mengatur khusus amnesti dan abolisi yakni Undang-Undanga Darurat No 11 tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi tidak ada menegaskan pengertian amnesti dan abolisi.

UU Darurat inipun sebagai pelaksana Pasal 107 dari UUDS 1950, artinya sampai saat ini belum ada ketentuan UU khusus tentang Amnesti dan Abolisi ini.

Jika pengacu pada UU Darurat No 11 tahun 1954 ini, dalam penjelasannya ditegaskan perbedaan amnesti dan abolisi yakni a. Dengan pemberian amnesti maka semua akibat terhadap orang-orang yang dimaksud diatas itu dihapuskan; b. Dengan pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang itu ditiadakan.

Dengan demikian amnesti dalam UU Darurat ini ditegaskan konsekuensi yang diterima oleh penerima amnesti dan abolisi yakni amnesti berarti kepada seseorang atau golongan orang yang telah melakukan sesuatu tindak pidana dihapuskan, begitu juga abolisi berarti kepada seseorang atau golongan orang yang telah melakukan sesuatu tindak pidana, maka penuntutan terhadap orang-orang itu ditiadakan.

Kemudian, jika mau menemukan pengertian amnesti dan abolisi, maka bukalah Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam kamus ini ditegaskan pengertian amnesti/am·nes·ti/ /amnésti/ n pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Adapun ambolisi dalam Kamus ini juga artinya abolisi/abo·li·si/ n Huk 1 peniadaan peristiwa pidana.

Berdasarkan pengertian dalam kamus besar Bahasa Indonesia dan uraian penjelasan terkait amnesti dan abolisi dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 di atas, pada dasarnya memberikan pemahaman bahwa Amnesti memiliki beberapa 4 unsur yakni

  1. pengampunan atau penghapusan hukuman;
  2. diberikan kepala negara;
  3. kepada seseorang atau sekelompok orang;,
  4. yang telah melakukan tindak pidana tertentu.

Adapun 4 unsur tersebut, jika dipahami 1,2,3 sudah sangat jelas sekali, namun untuk unsur yang ke 4 masih bersifat umum yakni tidak ada menyebutkan jenis tindak pidananya, begitu juga Abolisi juga tidak ada Batasan tegas jenis tindak pidananya.

Oleh karena itu, dalam pemberian amnesti dan abolisi diperlukan adanya peran Lembaga lain selain seorang Presiden sendiri sebelum mengambil Keputusan tersebut, walaupun presiden memiliki hak proregatif dalam memberikan amnesti dan abolisi.

Sebelum Amandemen UUD 1945, Lembaga lain selain presiden terlibat dalam pemberian amnesti dan abolisi ini yakni Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam UU Darurat No 11 Tahun 1954 Pasal 1 ditegaskan “Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman”.

Pertimbangan DPR perkara Hasto dan Tom Lembong

Setelah Amandemen UUD 1945 lembaga lain yang terlibat dalam pemberian amnesti dan abolisi ini yakni DPR, sebagaimana diatur dalam UUDNRI 1945 Pasal 14 ayat (2) “Pesiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Artinya jika dikaitkan perkara Hasto dan Tom Lembong, maka sebelum presiden menetapkan putusannya, maka presiden memperhatikan pertimbangan DPR. Adapun dasar DPR dilibatkan adalah sesuai kedudukannya sebagai Wakil Rakyat.

Pada konteks ini DPRlah yang mewakili rakyat untuk memberikan penilaian dalam pertimbangannya mengenai apakah seseorang dan tindak pidana/dugaan tindak pidana yang dilakukannya yang diingikan presiden untuk diberikan amnesti yakni Hasto dan Abolisi yakni Tom Lembong sesuai tidak dengan kepentingan publik, etika penyelenggaraan negara serta peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu pemberian pertimbangan tersebut seharusnya melalui mekanisme rapat-rapat di DPR RI sebab DPR RI terdiri dari partai dan dapil berbeda sehinga diperlukan pendapatkan sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihannya.

Pada konteks inilah pertimbangan pemberian amnesti dan abolisi ini atas dua perkara ini, tidak diketahui publik mekanisme dan dokumen naskah pertimbangan dari DPR RI tersebut.

Padahal itu penting diketahui publik pertama : mengingat amnesti dan abolisi yang diberikan Presiden terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi, yang mana Korupsi termasuk kejahatan berat yang menjadi musuh bersama rakyat Indonesia.

Kedua,menjadi janggal jika dasar pertimbangannya bahwa perkara hasto dan Tom lembong diduga syarat dengan nuansa politik, sebab mekanisme hukum sudah memberikan jalur jika pada suatu peradilan ada yang merasa tidak adil karena diduga nuansa politik maka dibuktikan dengan pembuktian di pengadilan, secara berjenjang dari Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tinggi, Kasasi, Penunjauan Kembali bahkan sampai pada Grasi.

Itulah selayaknya proses hukum dinegara ini, kecuali dengan dalam masa proses peradilan tersebut terjadi komplik sosial di masyarakat atau adanya potensi besar terjadinya konflik sosial di Masyarakat.

Namun demikian kenyatannya kedua perkara yang diberikan amnesti dan abolisi tersebut tidak ada tercipta konflik sosial yang mengarah perpecahan bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, publik perlu membaca naskah pertimbangan DPR RI ini terkait dengan amnesti dan abolisi pada tindak pidana korupsi ini yakni apakah DPR RI memberikan catatan khusus hanya pada kedua perkara dugaan korupsi yang ini saja, atau bersifat umum sehingga memberikan ruang pada pelaku dugaan tindak pidana korupsi lainnya, juga dapat diberikan amnesti dan abolisi.

Dengan demikian, pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden pada dugaan tindak pidana korupsi adalah tidak tepat karena korupsi adalah kejahatan luar biasa, menggrogoti pondasi pembangunan negara dan letakkan amnesti dan abolisi kali ini sebaiknya adalah yang pertama dan yang terakhir, jangan ada yang lain berikutnya.

Oleh karena itu demi kepentingan publik yang secara luas bukan kelompok tertentu, maka diperlukan adanya penegasan dalam Undang-Undang tindak pidana korupsi bahwa tindak pidana korupsi tidak berlaku amnesti dan abolisi.

Hal ini tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia jika diatur dalam undang-undang, sebagaimana ditegaskan dalam UUDNRI 1945 Pasal 28 J ayat (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-niai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Dr.Arfa’i,S.H.,M.H.
Dosen Hukum Tata Negara, Fak Hukum Univ Jambi

banner 325x300
banner 325x300