M Zaini Bisri, Anggota PWI
Di Banjarmasin, saya bukan siapa-siapa. Saya hanya anggota kontingen Porwanas untuk cabang tenis lapangan.
Malam itu, di resto Hotel Delima Banjarmasin tempat kami menginap, silih berganti datang orang-orang PWI dari berbagai provinsi yang tidak saya kenal. Maklum sudah lama saya absen di PWI.
Ketika saya masuk ke resto, ada dua orang sedang berbincang. Seorang memakai topi painter baret dan seorang lagi, tampaknya sebagai teman dekat, usianya lebih muda dan bertubuh langsing. Keduanya sedang membicarakan kondisi PWI terkini.
Melihat keduanya membicarakan PWI, tanpa diminta, saya langsung nimbrung.
“Sekarang lagi musim kudeta ya, masyarakat terpecah-belah, banyak organisasi dihantui KLB atau MLB,” kata saya.
Orang yang bertopi baret menimpali, “Ya karena ada penyimpangan dalam organisasi, KLB itu solusinya.”
Temannya menambahkan dengan bersemangat, “Ketua yang melanggar aturan organisasi harus diganti!”
Dengan tanpa beban, karena tidak mengenal orang yang diajak bicara, saya menyampaikan pandangan saya:
“Maaf ya, kalau menurut saya sih harus dilihat dulu derajat penyimpangan atau pelanggarannya. Apa pun bunyi AD/ART-nya, secara umum prosedur penegakan disiplin dan etika dalam organisasi itu sama. AD/ART itu wilayah administratif. Kalau pemimpin organisasi dianggap melakukan tindakan tercela atau pidana yang dengan begitu dia harus diganti, serahkan ke penegak hukum. Merekalah yang akan membuktikannya. Jika yang bersangkutan terbukti bersalah dan sudah divonis oleh pengadilan dan inkrah, barulah digelar KLB untuk memilih penggantinya.”
Saya melanjutkan, “Dalam kasus perbuatan tercela atau pidana oleh ketua umum, kalau hanya berdasarkan mekanisme internal organisasi pasti akan terjadi multitafsir terhadap AD/ART sesuai kepentingan masing-masing. Apalagi kemudian langsung mengadakan KLB, itu kudeta, dan percayalah kudeta akan dibalas dengan kudeta lagi karena pasti ada pihak yang tidak puas dan melawan. Jadi kalau pelanggarannya tidak fatal atau belum terbukti secara hukum, yang bersangkutan ditegur atau diperingatkan saja, penggantinya kita tunggu sampai kongres berikutnya.”
Meskipun menurut saya pandangan tersebut cukup berani, kedua orang itu tampak kurang berminat untuk menanggapi, karena melihat saya bukan siapa-siapa, hanya seorang peserta Porwanas saja. Karena itu, saya kemudian pergi meninggalkannya.
Beberapa waktu kemudian setelah mengikuti berita-berita konflik di PWI dan melihat foto-foto ZS, saya baru sadar kalau saya barusan ketemu dia. Tidak salah lagi karena dia sangat mudah dikenali dari topi baret yang selalu dikenakannya. Jika mengingat momen itu saya selalu tertawa dalam hati.***