Oleh: Syaiful Bakri (*)
Dalam konteks sosial yang semakin kompleks, hubungan antara penggunaan narkoba dan dinamika keluarga menjadi semakin relevan untuk dibahas.
Narkoba tidak hanya mengancam kesehatan fisik individu, tetapi juga berimplikasi serius pada interaksi antar anggota keluarga, terutama dalam hubungan suami istri.
Saat salah satu pasangan terjebak dalam kecanduan, dampak merusak yang ditimbulkan tidak hanya terasa secara emosional, tetapi juga dapat mempengaruhi seluruh struktur keluarga, menciptakan pola perilaku yang tidak sehat dan mengganggu keseimbangan yang dibutuhkan untuk membangun ikatan yang kuat.
Penggunaan narkoba dalam hubungan suami istri memiliki efek merusak yang luas dan kompleks, mengancam ikatan emosional, kepercayaan, dan stabilitas keluarga secara keseluruhan.
Salah satu dampak utama dari kecanduan narkoba adalah hilangnya kepercayaan. Ketika salah satu pasangan menggunakan narkoba, sering kali mereka merasa perlu untuk menyembunyikan kebiasaan itu, baik melalui kebohongan maupun dengan mengabaikan tanggung jawab rumah tangga.
Pasangan yang kecanduan sering kali terjebak dalam pola perilaku yang tidak jujur atau manipulatif, yang menciptakan rasa curiga dan ketidakpercayaan dalam hubungan.
Hilangnya rasa aman dan ketidakstabilan emosional ini membuat hubungan suami istri menjadi semakin rapuh.
Narkoba juga mempengaruhi emosi dan perilaku, yang sering kali mengubah individu menjadi pribadi yang mudah marah, tidak sabar, atau bahkan agresif.
Pengaruh narkoba pada otak mengacaukan kontrol emosi dan menurunkan kesadaran akan konsekuensi dari tindakan.
Ketidakstabilan ini berimbas pada suasana rumah tangga yang menjadi penuh ketegangan dan terkadang tidak aman.
Pasangan yang sehat, yang berusaha mempertahankan keharmonisan, sering merasa kesulitan menghadapi perubahan mood yang tidak menentu dan perilaku yang tidak terduga.
Keharmonisan seksual dalam hubungan suami istri juga tidak luput dari dampak negatif narkoba.
Beberapa jenis narkoba menurunkan gairah seksual, sementara lainnya dapat mendorong perilaku seksual yang impulsif atau berisiko (sex bebas).
Ketidakseimbangan ini menyebabkan pasangan yang sehat merasa diabaikan atau bahkan tergantikan. Dalam jangka panjang, hilangnya keintiman dapat melemahkan fondasi emosional dalam pernikahan, menyebabkan perasaan frustrasi dan keterasingan.
Dalam hubungan rumah tangga, setiap pasangan memainkan peran penting untuk menjaga keberlangsungan dan keseimbangan keluarga. Penggunaan narkoba cenderung membuat seseorang lebih mementingkan kebutuhan pribadinya, mengabaikan kewajibannya sebagai pasangan atau orang tua.
Ketika salah satu pasangan lebih fokus pada penggunaan narkoba, peran mereka sebagai suami atau istri menjadi terganggu. Tanggung jawab dalam rumah tangga dan peran dalam mendidik anak-anak mungkin terabaikan, sehingga beban tanggung jawab lebih berat ditanggung oleh pasangan yang sehat.
Narkoba juga membawa konsekuensi fisik dan mental yang melelahkan bagi pasangan pengguna.
Individu yang kecanduan sering mengalami masalah kesehatan, seperti kelelahan fisik, gangguan kecemasan, atau bahkan depresi berat yang memerlukan perawatan intensif.
Kondisi ini membuat pasangan yang tidak menggunakan narkoba berada dalam posisi sebagai pengasuh, menghabiskan banyak energi dan finansial untuk mendukung kesehatan pasangan yang sakit.
Ketidakmampuan pengguna narkoba untuk menjaga kesehatannya, ditambah dengan stres yang dialami oleh pasangan yang sehat, semakin memperlemah ikatan dalam pernikahan.
Dampak narkoba juga meluas pada anak-anak dan suasana rumah tangga secara keseluruhan. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan di mana salah satu orang tua adalah pengguna narkoba sering mengalami stres emosional dan kebingungan.
Mereka bisa merasa malu, takut, dan tidak aman, terutama jika situasi di rumah menjadi penuh konflik atau tidak terduga. Anak-anak mungkin merasa terabaikan atau bingung dengan perubahan suasana hati dan perilaku orang tua yang kecanduan, yang dapat meninggalkan bekas luka psikologis.
Secara keseluruhan, penggunaan narkoba mengganggu seluruh aspek hubungan suami istri, dari kepercayaan, emosional, finansial, hingga peran masing-masing dalam keluarga.
Perjalanan untuk pulih dari kerusakan ini sering kali membutuhkan proses rehabilitasi, terapi, dan konseling, baik untuk pasangan yang menggunakan narkoba maupun yang tidak.
Ada beberapa penelitian yang mendalam tentang dampak narkoba pada hubungan pernikahan.
Penelitian dari Dr. Peter Cohen, seorang peneliti di bidang kecanduan dan psikologi sosial, menunjukkan bahwa kecanduan narkoba menyebabkan pasangan mengalami peningkatan stres dan konflik yang kronis dalam hubungan mereka.
Menurut Cohen, pasangan yang salah satunya memiliki masalah kecanduan sering kali merasa terbebani oleh siklus kebohongan, keuangan yang tidak stabil, dan perasaan keterasingan emosional, yang membuat hubungan semakin rapuh.
Dr. Murray Bowen, pakar dalam terapi keluarga, juga mendalami efek ketergantungan narkoba pada dinamika keluarga.
Bowen menemukan bahwa kecanduan narkoba tidak hanya mengisolasi individu yang kecanduan tetapi juga menyebabkan pasangan yang sehat mengalami rasa bersalah, frustrasi, dan tekanan emosional yang besar.
Dalam konteks ini, pasangan sering kali dihadapkan pada dilema antara ingin membantu atau meninggalkan orang yang mereka cintai.
Kondisi ini menurut Bowen membuat hubungan menjadi kurang stabil dan kurang harmonis karena pasangan yang tidak kecanduan lebih sering berperan sebagai “penyelamat” atau “pengasuh” daripada sebagai pasangan.
Penelitian dari National Institute on Drug Abuse (NIDA) di Amerika Serikat juga menyebutkan bahwa narkoba tidak hanya merusak kesehatan fisik, tetapi juga memiliki efek pada psikologi dan perilaku yang berperan dalam rusaknya relasi pasangan.
NIDA menyebut bahwa penggunaan narkoba, terutama jenis yang bersifat depresan atau stimulan, menyebabkan individu lebih sering terjebak dalam perilaku agresif atau impulsif yang mengganggu keharmonisan keluarga.
Bahkan, penelitian mereka menunjukkan bahwa pasangan pengguna narkoba memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami perceraian atau putusnya hubungan.
Dampak narkoba pada keluarga menggambarkan betapa destruktifnya pengaruh zat ini pada hubungan dan stabilitas emosi.
Begitu pula, efek serupa bisa muncul dalam konteks kepemimpinan, di mana ketergantungan narkoba berpotensi memengaruhi penilaian dan efektivitas pemimpin.
Berdasarkan penelitian yang menyoroti dampak narkoba pada hubungan dan fungsi pengambilan keputusan, jika seorang pemimpin atau calon pemimpin adalah pecandu atau mantan pecandu, ada beberapa konsekuensi yang mungkin mempengaruhi efektivitas kepemimpinannya.
Penelitian menunjukkan bahwa narkoba dapat mengganggu stabilitas emosi, kontrol impuls, dan kemampuan pengambilan keputusan rasional.
Kondisi ini berarti seorang pemimpin yang masih berada di bawah pengaruh atau berjuang melawan ketergantungan narkoba mengalami tantangan dalam menghadapi situasi-situasi kritis yang memerlukan penilaian cepat dan keputusan tepat.
Publik mengharapkan pemimpin yang dapat bertindak dengan penuh pertimbangan dan obyektivitas, namun ketergantungan pada zat-zat tersebut dapat menyebabkan penurunan kemampuan dalam menilai risiko, memahami konsekuensi, dan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang masyarakat.
Lebih jauh lagi, sisi emosional seorang pemimpin yang terkait dengan narkoba sering kali tidak stabil dan rentan terhadap perubahan suasana hati yang drastis, yang pada akhirnya bisa memengaruhi hubungan mereka dengan tim atau staf di lingkungan kerja.
Kondisi ini dapat menciptakan suasana kerja yang tidak sehat, mengurangi produktivitas tim, dan bahkan memicu konflik yang tidak perlu, sehingga mengganggu proses pengambilan keputusan yang baik.
Pengaruh negatif dari keterkaitan seorang pemimpin dengan narkoba juga meluas pada potensi kerentanannya terhadap korupsi atau manipulasi oleh kelompok atau individu berkepentingan.
Seorang pemimpin yang memiliki latar belakang penyalahgunaan narkoba mungkin menjadi target empuk bagi pihak yang berniat memanfaatkan ketergantungan ini untuk memengaruhi keputusan politik atau administratif yang diambilnya.
Akibatnya, masyarakat bisa menjadi korban dari kebijakan yang tidak transparan atau korup.
Dampak buruk lain yang signifikan adalah ketidakstabilan kepemimpinan yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.
Ketika pemimpin yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dianggap kurang dapat diandalkan, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada institusi pemerintahan dan terputusnya hubungan positif antara pemimpin dan rakyatnya.
Seiring waktu, hal ini berpotensi menghambat pembangunan sosial dan mengikis moralitas publik, terutama bagi generasi muda yang mungkin menjadikan pemimpin sebagai panutan.
Secara keseluruhan, jika seorang pemimpin atau calon pemimpin adalah pecandu atau mantan pecandu narkoba, dampak negatifnya pada integritas, kepercayaan publik, dan stabilitas pemerintahan sangat besar. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem kepemimpinan, membahayakan kesejahteraan sosial, dan menghalangi tercapainya tujuan pemerintahan yang efektif dan berintegritas tinggi.(***)
(*) Ketua Forum Masyarakat Peduli Pilkada Jambi (FMP2J)