LUBUKLINGGAU- Sumateradaily — Janji adalah sebuah ikatan yang tak bisa dipermainkan. Orang yang berjanji akan diikat oleh janjinya selama belum ditunaikan. Inilah alasannya Islam mencela setiap calon pemimpin publik baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang mengobral janji saat kampanye tanpa bermaksud untuk menepatinya.
Ijtima’ Ulama se-Indonesia yang digelar Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Tegal baru-baru ini bersepakat, siapapun calon pemimpin yang berjanji tanpa menepati janjinya adalah perbuatan zhalim, perbuatan munafik dan berdosa besar. Hal ini sesuai dalil Firman Allah SWT, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS al-Isra’: 34).
Pimpinan sidang pleno IV Ijtima Ulama Drs H Amidhan mengatakan, ciri munafik yang dikategorikan sebagai golongan paling jahat dalam Islam ada empat. Seperti bunyi hadis, “Apabila diberi amanat berkhianat, apabila berkata dusta, jika berjanji mengingkari, dan jika berseteru curang.” (HR Bukhari).
Selain itu, pemimpin pendusta merupakan golongan yang paling keras siksanya pada hari kiamat. Berpedoman kepada hadis, “Ada tiga golongan yang tidak dilihat Allah SWT di hari kiamat, mereka tidak dirahmati, tidak diampuni dosanya, dan bagi mereka azab teramat pedih. Pemimpin yang pendusta, tua bangka yang berzina, dan orang miskin yang sombong.” (HR Abu Daud).
“Setiap pemimpin wajib menjalankan sumpah jabatan, amanah, dan janji yang telah diamanahkan kepadanya. Terkecuali ada uzur syar’i yang menyebabkan ia tidak dapat menjalankan amanah tersebut,” ucap Amidhan membacakan hasil putusan Ijtima’.
Hasil ijtima’ tersebut juga menyepakati haramnya perbuatan pemimpin yang mengingkari janjinya. Terkecuali memang ada uzur syar’i yang menyebabkan ia tidak mampu menunaikan amanah tersebut.
Ini juga sering terjadi dalam proses mencari Pemimpin Kepala Daerah dan punya komitmen dengan Partai yang menjadi Pengusung terkadang janji janji tersebut tertuang dalam rekomendasi tapi juga tidak dilaksanakan.
Juga sering terjadi juga Calon Kepala Daerah yang punya janji untuk pemberdayaan konstituen pertai namun itu cuma janji dan ucapan belaka dan realita tidak terbukti adanya.
Pemimpin yang seperti ini terhadap konstituen yang secara yuridis formal ingin mengantarkan menjadi pemimpin bisa saja dihianati apa lagi rakyat yang secara subtansi belum tentu memilihnya insya Allah juga akan di ingkarinya .
Anggota Komisi Fatwa MUI pusat, Dr KH Abdul Aziz Musthafa Dahlan Abdul Latif MA meluaskan pembahasan ini dalam makalahnya soal Ketaatan kepada pemimpin yang tidak mentaati janji kampanyenya. Ia menyimpulkan, walau pemimpin yang ingkar janji sudah melakukan kezhaliman besar, tetap saja wajib hukumnya mentaati pemimpin. “Taat kepada pemimpin Muslim, meskipun mengingkari janji kampanyenya (pemimpin fasik, jahat, dan zalim) selagi yang diperintahkannya adalah perkara yang ma’ruf tidak bertentangan dengan agama, maka hukum mentaatinya adalah wajib,” jelas Kiyai yang akrab disapa KH Ovied R ini.
Disamping itu, menurut KH Ovied, tidak wajib mentaati pemimpin non-Islam meskipun memiliki sifat amanah, jujur, dan adil. Namun jika dapat mendatangkan fitnah dan mudharat, maka hukumnya menjadi wajib untuk mentaati pemimpin non-Islam tersebut. Ia juga menghimbau agar tidak memilih atau memberikan amanah kepada pemimpin yang tidak amanah atau yang pernah mengingkari janji-janjinya ketika kampanye. “Memilih pemimpin yang tidak amanah (fasik,jahat, dan zalim) dengan sengaja sedangkan yang terbaik masih ada untuk dipilih, maka hukumnya adalah haram,” papar KH Ovied(*)