banner 728x250
OPINI  

Bermain ‘hompimpa alaium gambreng’ dalam Pemilu 2024, mengajak kita berpolitik dengan bijak

hompipa alaihum gambreng
hompipa alaihum gambreng/ft: Ilsutrasi google.co.id
banner 120x600
banner 468x60

Yogie Pranowo
Adjunct Associate Lecturer, Universitas Multimedia Nusantara

Apakah kalian masih ingat dengan permainan tradisional “hompimpa alaium gambreng”?

banner 325x300

Dalam bahasa Sanskerta kuno, permainan ini menyiratkan pesan yang mendalam: “dari Tuhan, kembali ke Tuhan, mari kita bermain”.

Adagium ini ternyata bisa ditarik dalam konteks politik hari ini, lebih dari sekadar permainan. Secara filosofis, hal ini dapat menggambarkan bagaimana manusia seharusnya bermain dalam politik, agar dapat menyadari bahwa tujuan dari berpolitik bukanlah ego, tetapi kepantasan diri di hadapan Tuhan.

Sebagai akademisi di bidang filsafat, saya mencoba menjelaskan bagaimana permainan tradisional ini bisa menjadi rujukan kita semua, termasuk para kontestan pemilu, tentang cara berpolitik yang baik.

1. Mengajak masyarakat terlibat aktif dan kritis

Inti dari demokrasi terletak pada partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali, dalam proses politik. Sebab, politik bukanlah “permainan” yang dimainkan oleh segelintir orang saja. Politik adalah upaya bersama yang mensyaratkan setiap warga negara untuk menjadi peserta dan pemegang peran penting.

Mengingat pentingnya keterlibatan aktif kita sebagai masyarakat dalam politik, maka penting bagi kita untuk memahami secara mendalam tentang para kandidat, kebijakan yang mereka usung, dan isu-isu yang menjadi fokus perhatian. Ini akan membuat kita memiliki pemahaman yang jernih sehingga bisa memilah-milah dengan baik, dan pada akhirnya kita dapat membuat pilihan yang tepat dan bijaksana.

Konsep “hompimpa alaium gambreng” tidak hanya mencerminkan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam politik, tetapi juga menggarisbawahi perlunya komitmen pada kepentingan bersama. Ini bukan semata-mata hak dalam memberikan suara, melainkan juga kewajiban tentang memilih pemimpin yang sejalan dengan kepentingan publik.

Selain itu, kita harus melakukan penilaian kritis terhadap kualifikasi, integritas, dan kebijakan para kandidat, sehingga tidak terjebak untuk sekadar memilih figur karismatik berjanji manis.

Pentingnya peran masyarakat dalam politik tidak hanya berlaku selama tahun politik saja. Hal ini mencakup kewajiban untuk memastikan bahwa para pemimpin yang terpilih memenuhi janji mereka dan memprioritaskan kesejahteraan bangsa di atas kepentingan pribadi atau partainya.

Masyarakat juga memiliki peran aktif dalam mendorong transparansi, perilaku etis, dan pengambilan kebijakan yang menguntungkan seluruh masyarakat. Dengan demikian, keterlibatan masyarakat dalam politik bukan hanya sekadar hak, tetapi juga tanggung jawab untuk memastikan bahwa tindakan pemimpin dan proses politik secara keseluruhan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebaikan bersama.

Keterlibatan masyarakat ini dalam dunia politik memiliki esensi yang sama dengan permainan “hompimpa alaium gambreng”. Dari Tuhan, kembali ke Tuhan, mari kita bermain, tak hanya sekadar permainan anak anak. Namun juga merupakan sebuah representasi nilai bagi masyarakat untuk terus memastikan kepemimpinan yang bertanggung jawab, transparan, dan fokus pada kepentingan publik.

2. Mengajak semua pihak mengatasi konflik

Salah satu tantangan terbesar dalam politik adalah polarisasi, yang dapat diterjemahkan sebagai “ketidakmampuan untuk mencapai kesepakatan tentang sejumlah masalah penting di dalam negara karena adanya perbedaan nilai dan pandangan politik maupun agama yang ekstrem.”

Jika kita melihat Indeks Demokrasi 2022 yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit, Indonesia masuk dalam kategori negara dengan status “demokrasi yang cacat” (flawed democracies).

Dari 167 negara yang dinilai, Indonesia menempati peringkat 54 (6,71 poin), bahkan berada di bawah Filipina yang menempati peringkat 52 (6,73 poin). Indonesia mendapatkan skor rendah dalam faktor kultur politik (4,38 poin).

Faktor kultur politik yang cenderung negatif menunjukkan peningkatan tren polarisasi yang nampak jelas dalam konflik kepentingan yang terjadi selama tahun 2022.

Polarisasi sebenarnya adalah bagian alami dari kompetisi politik, tetapi menjadi berbahaya ketika polarisasi tersebut dipersempit menjadi keyakinan bahwa satu pihak selalu benar dan pihak lain selalu salah.

Dampak buruk dari polarisasi politik adalah kemungkinan terjadinya kemunduran demokrasi yang pada akhirnya dapat berujung pada konflik sipil. Ini adalah hal yang patut dicemaskan.

Dalam politik, seringkali berbagai kelompok, partai, dan individu memiliki tujuan yang berbeda, yang dapat menyebabkan perpecahan bahkan konflik dalam masyarakat. Inilah mengapa gagasan “hompimpa alaium gambreng” menjadi sangat relevan dalam konteks ini.

Untuk menciptakan proses politik yang lebih harmonis, masyarakat perlu berperan aktif dalam menjembatani kesenjangan dan mencari titik temu. Masyarakat harus bertindak sebagai penengah dalam menghadapi berbagai konflik yang mungkin tercipta dari kontestasi politik ini.

Sebagaimana “hompimpa alaium gambreng,” kita diajak untuk kembali ke dasar, mencari kesepakatan di tengah perbedaan. Kita perlu “memainkan” permainan politik dengan kebijaksanaan, menciptakan ruang untuk dialog, serta mendamaikan perbedaan yang ada.

Independensi dalam berpikir dan bertindak menjadi sangat penting. Setiap individu harus mengakui bahwa ketika mereka memilih, mereka melakukannya untuk kepentingan seluruh bangsa, bukan hanya untuk diri mereka sendiri.

3. Mengajak kandidat untuk memantaskan diri

Khusus terhadap calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang akan bertanding di Pemilu 2024 nanti, “dari Tuhan, kembali ke Tuhan, mari kita bermain”, sepertinya dapat menjadi kerangka kerja yang memiliki makna ganda.

Di satu sisi, mereka harus aktif terlibat dalam proses politik dan mengakui bahwa masing-masing kandidat memiliki kekuatan untuk memengaruhi arah masa depan bangsa. Sebab, masing masing dari mereka memiliki bidang kepakarannya sendiri-sendiri yang terbukti telah berdampak kepada masyarakat luas.

Di sisi lain, nantinya mereka juga harus mengakui bahwa hasil akhirnya berada di luar kendali mereka dan mereka harus menerimanya dengan sikap tenang dan lapang dada, seperti ketika bermain dalam “hompimpa alaium gambreng”.

Dengan demikian, bagi para kandidat, “dari Tuhan, kembali ke Tuhan, mari kita bermain” secara tidak langsung menuntut mereka untuk memainkan peran dalam permainan politik dengan penuh dedikasi, sembari juga perlu mengakui bahwa akhirnya masing-masing dari mereka harus dapat menerima segala kemungkinannya–bahkan jika hasilnya tak seperti yang mereka harapkan.

Dengan memahami esensi tahun politik dalam konteks manusia yang bermain “hompimpa alaium gambreng,” kita harus siap menerima hasilnya dengan sikap yang lapang dada, tanpa memandang sebelah mata pihak lain.

Demokrasi bukan hanya menjadi “permainan” segelintir orang, melainkan usaha bersama di mana setiap warga negara memiliki peran dalam membentuk masa depan bangsanya. Dalam ketidakpastian politik, kekuatan kolektif masyarakat dapat membimbing bangsa menuju masa depan yang lebih cerah dan lebih adil. Semoga saja begitu.***

 

Sumber: https://theconversation.com

 

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *