DITENGAH tingginya “tensi” kebangsaan saat ini, kita sangat membutuhkan politisi pemersatu yang mampu merangkul semua kalangan dan merawat negeri kita dari segala keberagaman.
Itulah salah satu potret putra terbaik Sumatera Selatan yang dipersembahkan untuk Indonesia melalui sepak terjang politiknya.
Tak ada salahnya sebagai generasi penerus kita mengambil contoh baik dari pendahulu kita.
Inilah Profil dan Perjalanan Taufiq Kiemas dikutip dari laman mpr.go.id ;
Hari ini, 31 Desember, di penghujung tahun 1942, di sebuah rumah sederhana di Gang Abu (sekarang masuk kawasan sekitar Harmoni Jakarta) lahir anak pertama pasangan Tjik Agus Kiemas dan Hamzatun Rusjda. Sang putra itu diberi nama Taufiq Kiemas.
Dimasa awal pendudukan Jepang itu keadaan serba susah. Tjik Agus Kiemas yang saat itu bekerja di Persatuan Warung Kebangsaan Indonesia (Perwabi)– organisasi yang berafiliasi dengan Partai Masjumi– harus bekerja membanting tulang demi menghidupi keluarganya.
Sedangkan Hamzatun, yang pernah mengenyam pendidikan bidan, fokus mengurus kebutuhan Taufiq dan adik-adiknya yang lahir kemudian.
Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Tjik Agus Kiemas– yang sudah perwira TNI hasil lulusan pendidikan perwira PETA di Bogor– memboyong keluarganya di Yogyakarta.
Mereka mengikuti para pejabat pemerintah yang memutuskan memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta.
Baru setelah penyerahan kedaulatan, Taufiq dan keluarganya kembali ke Jakarta. Ketika ayahnya ditugaskan sebagai pejabat di Djawatan Perdagangan di Makassar, Taufiq tidak ikut serta.
Oleh ayahnya, yang simpatisan militan Masjumi, ia justru dimasukkan ke SMP Katolik Mardiyuana di Sukabumi.
Setamat SMP, barulah Taufiq bergabung kembali dengan keluarganya yang sudah bermukim di Palembang, kampung halaman sang ayah.
Saat remaja di Palembang, Taufiq tumbuh menjadi seorang Soekarnois yang militan. Militansi itu berawal dari kekaguman saat ia mendengar pidato Bung Karno di radio. Seakan ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mengetahui lebih jauh sosok dan pemikiran Bung Karno.
Berbagai hal pun dilakukan Taufiq untuk memuaskan rasa ingin tahunya tersebut, mulai dari meminjam buku-buku karya Bung Karno atau yang membicarakan pemikiran sang proklamator, juga ia terus berupaya agar selalu bisa menyimak pidato Bung Karno di radio.
Dari seorang remaja yang semula hobby hura-hura dengan geng Don Quixote, pelahan tapi pasti, Taufiq bertransformasi menjadi seorang aktivitis mahasiswa.
Tak lama setelah ia masuk Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Taufiq memutuskan bergabung dengan GMNI.
Meski untuk itu, ia harus bertengkar hebat dengan ayahnya, yang ingin anak sulungnya itu berkecimpung di organisasi mahasiswa Islam.
Karena militansinya dan kepandaiannya bergaul, dalam waktu singkat Taufiq dipercaya menjadi Ketua GMNI Palembang.
Pergaulan politiknya pun tidak lagi sebatas anak-anak GMNI, juga dengan tokoh-tokoh politik di Palembang. Bahkan dengan sejumlah tokoh muda nasional, seperti Guntur Soekarnoputra.
Peristiwa Gestok 1965, membalikkan suasana. Kekuasaan Bung Karno surut. Para Soekarnois sejati, termasuk Taufiq, harus mendekam di penjara rezim Orde Baru. Dua kali ia dipenjara: di Markas CPM Palembang dan RTM Budi Utomo Jakarta.
Tapi, penjara tidak membuat Taufiq patah semangat, justru memberikan pelajaran berharga baginya.
Pelajaran dari penjara itu terus diingat oleh Taufiq. Bukan sekadar menjadi pengetahuan penghias kepala belaka, tapi juga ia praktikkan dalam kehidupan kesehariannya.
Seiring perjalanan politiknya, romansa asmaranya dengan Megawati Soekarnoputri pun tumbuh. Saat mendekam di penjara di Palembang, angan-angan atau firasat Taufiq untuk menyunting Megawati Soekarnoputri sudah bersemi.
Firasat itu rupanya membekas di garis tangan. Di awal tahun 1971, setelah Megawati menjanda karena suaminya, Letnan (Penerbang) Surindro Suprijarso, wafat akibat kecelakaan pesawat di sekitar Pulau Biak, ia diperkenalkan dengan Taufiq oleh Guntur Soekarnoputra.
Perkenalan itu berlanjut menjadi jalinan asmara, hingga akhirnya pasangan ini menikah Maret 1973.
Sambil mengarungi biduk rumah tangga– pasangan ini memiliki tiga anak: Muhammad Rizki Pratama, Muhammad Prananda Prabowo, dan Puan Maharani– Taufiq dan Megawati kemudian terjun ke dunia politik. Mereka berkiprah di Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Di masa-masa kritis, terutama setelah KLB PDI di Surabaya akhir tahun 1993 dimana Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI, Taufiq terus mendampingi sang istri. Ia lebih banyak bergerak di belakang layar.
Di masa reformasi, Taufiq merupakan motor utama pendirian PDI Perjuangan. Ia pula yang berperan besar mengantarkan Megawati Soekarnoputri menjadi Wakil Presiden RI, dan kemudian Presiden RI.
Puncak karir politik Taufiq Kiemas sendiri adalah saat terpilih secara aklamasi sebagai Ketua MPR RI di tahun 2009. Ditengah masa kepemimpinannya, 8 Juni 2013, beliau berpulang ke haribaan Allah SWT.
Kini Taufiq Kiemas, lelaki yang menentang badai itu, sudah lima tahun lebih wafat. Sudah menjadi tugas kita merawat kenangan, serta meneruskan warisan keteladanannya dalam berpolitik yang beradab.
Itulah kisah salah satu tokoh politik kita yang mungkin bisa diambil pembelajaran berharga bagi politis saat ini untuk merawat bangsa dari keberagaman dengan cara merangkul bukan memukul. Semoga bermanfaat bagi sahabat sumateradaily.com ***