Gowes Cipageran (KBB) – Merauke
(Taufik Abriansya
sumateradaily com – Ketika merencanakan touring ini, saya sudah memperhitungkan masalah jadwal transportasi akan menjadi tantangan tersendiri. Akan menguji kesabaran.
Namun, meski sudah memperhitungkan kemungkinan itu, saat benar-benar mengalaminya, tak urung membuat saya senewen juga. Saya sempat agak down ketika mengetahui KM Sirimau, kapal dari Maumere ke Merauke, sedang docking. Alias tidak berlayar.
Tadi malam saya mulai membuka aplikasi PELNI untuk mencari tiket kapal ke Papua. Dan sayangnya untuk saat ini saya harus menggunakakan cara estafet supaya bisa sampai Merauke. Atau harus sabar menunggu KM Sirimau selesai perawatan. Dan sayangnya lagi, tidak ada info kapan masa docking ini selesai. Bisa dalam satu dua hari ini. Bisa minggu depan. Bisa pula bulan depan.
Semalaman saya mempelajari rute transportasi ke Papua. Kesimpulannya : saya harus sabar menunggu.
Setelah subuh pagi ini, sambil nyeruput kopi plus potongan biskuit, kembali saya membuka aplikasi. Dan hasilnya tetap sama dengan tadi malam.
Sekitar jam 08.00 saya bergerak. Menuju pelabuhan. Berharap ada ferry nyeberang ke Kupang atau ke Waingapu. Saya tidak punya rencana yang pasti mau gowes ke arah mana hari ini. Karena pikiran saya masih berharap pada KM Sirimau.
Tiba di pelabuhan, suasanya sepi-sepi saja. Tidak tampak adanya kerumunan orang-orang yang hendak berpergian. Wah jangan-jangan memang tidak ada kapal ferry hari ini.
Persis di depan pintu masuk pelabuhan, ada bus yang sedang ngetem. Jurusan Ende via Bajawa. Pak sopir dan keneknya nawarin saya naik bus saja. “Terlalu nanjak pak sampai Bajawa,” katanya.
Sejurus saya menimbang-nimbang. Apakah tetap di Aimere nunggu kepastian jadwal ferry, atau ikut bus ini sampai Bajawa. Tak lama akhirnya saya memutuskan ikut naik bus. Dengan cepat sepeda saya diikat di besi-besi yang ada di belakang bus.
Begitu sepeda terpasang, bus langsung bergerak. Penumpangnya hanya ada saya yang duduk di depan samping sopir, dan seorang lagi duduk di belakang. Jam sudah sekitar pukul 09.00.
Benar saja, begitu belokan pertama keluar dari Aimere, kontur jalan sudah menanjak. Dan terus menanjak. “Nanti ada yang lebih tajam lagi,” kata Pak Marcelinus, sopir bus tersebut. Dalam hati saya membatin syukurlah saya naik bus.
Jalannya aspal mulus. Dan sepi. Yang gak nahan adalah tanjakannya. Mirip-mirip ruas antara Labuan Bajo- Ruteng. Hiburannya adalah pemandangannya yang sangat indah. Ada satu gunung yang cukup mencolok karena tingginya. “Itu gunung Inerie,” kata Pak Marcelinus. Tingginya 2.245 meter dari permukaan laut.
Selain banyaknya tanjakan, ruas jalan ini juga banyak sekali belokan tajam. Iseng saya perbesar rute jalan ini di google maps hasilnya seperti coretan anak-anak. Acak-acakan.
Menjelang masuk kota Bajawa, suasana makin adem. Ibukota Kabupaten Ngada ini memang terletak di dataran tinggi. Pohon bambu tinggi besar yang melindungi jalan dari sengatan matahari makin menambah syahdu suasananya.
Nama Bajawa mengingatkan akan Bajawa Coffee yang banyak tersebar di Jakarta dan Bandung. Cafe anak muda untuk ngopi dan nongkrong.
Sayangnya kami tidak melewati dalam kota. Sekitar lima kilometer sebelum masuk kota ada belokan ke kanan melalui jalan bypass. Di ruas jalan ini saya melihat ada pura, tempat beribadah umat Hindu. Sebagian rumah juga terlihat membuat atapnya khas Nusa Tenggara Timur. Kebanyakan model kerucut.
Selepas Bajawa, kontur jalan sudah lebih rata. Sekali-sekali ada turunan malah. Situasinya masih seperti tadi. Gunung ada dimana-mana, yang sayangnya saya tidak tahu namanya. Jadi jalan di ruas ini adalah berkelok-kelok menyusuri lereng gunung.
Setiap kali berpapasan dengan kendaraan lain, saya perhatikan pelat nomornya beragam. Dari berbagai daerah di Jawa. Ada L, W, B, dan bahkan ada juga pelat D. Asal Bandung dia. Pelat kendaraan di sini aslinya adalah EB.
Beragam pelat kendaraan ini bukan berarti kendaraan ini bodong atau hasil curian. Biasanya kendaraan ini memang dibeli di Jawa, tapi STNK nya tidak dimutasi ke sini.
Satu hal yang cukup menarik perhatian saya, di daerah Boawae saya melihat ada klinik sunat. Mengejutkan karena setahu saya daerah ini penduduknya mayoritas beragama Katholik. Itu artinya kemungkinan mereka juga punya budaya sunat.
Setelah itu ketemu pasar. Ramai sekali karena jalan jadi macet oleh orang yang berlalu lalang. Namanya Pasar Raja Timur. Di sini ada penumpang istimewa yang naik. Istimewa karena bukan orang. Melainkan seekor kambing. Ya kambing.
Kambing itu ditempatkan di atap bus. Diikat dengan kencang. Memang satu keistimewaan bus di sini adalah mereka bisa membawa apa saja. Bahkan barang berukuran besar. Saya pernah melihat ada bus yang membawa springbed di atapnya.
Di daerah Nangaboa saya minta diturunkan. Di sini saya lihat ada masjid. Dan saya juga ingin merasakan sensasi gowes menyusuri pantai menjelang masuk kota Ende.
Tapi ternyata jaraknya masih lumayan jauh. Dan masih ketemu tanjakan. Alhasil saya keringatan juga.
Sekitar Asar saya mulai masuk kota Ende. Pemandangan pertama yang menakjubkan saya adalah adanya gunung yang seperti menyembul dari laut. Namanya Gunung Iya. Gunung aktif yang terletak persis di tanjung kota Ende.
Masuk kota Ende yang pertama saya kunjungi adalah Taman Renungan Bung Karno. Di bawah rindang pohon sukun yang ada taman ini dulu Bung Karno mendapat gagasan besar untuk bangsa ini. Yaitu dasar negara Pancasila.
Dari taman kemudian saya bergeser ke Rumah Pengasingan Bung Karno yang terletak di Jalan Perwira. Di sini dulu Bung Karno tinggal saat diasingkan pemerintah Belanda tahun 1934 hingga 1938.
Dari tempat itu saya menuju Jalan El Tari, kantor Balai Taman Nasional Kelimutu. Saya menemui Pak Heru Rudiharto, temannya tetangga saya Pak Yanuar, yang kini memegang jabatan sebagai Kepala Balai TNK.
Pak Heru menyambut saya dengan hangat. Beliau bahkan menyilakan saya menginap bersama di rumah dinasnya. Tawaran yang tentu saja saya terima dengan gembira.
Ende, 03 Juni 2025