BUNG KARNO saat dalam pengasingannya di Bumi Rafflesia pernah membantu mendesain ulang masjid yang berlokasi tak jauh dari kediamannya.
Ada lebih dari 2.000 masjid dan surau berdiri di Provinsi Bengkulu, sejak pertama kali Islam masuk ke Bumi Rafflesia, pada permulaan abad 17 silam.
Tak sedikit dari rumah-rumah ibadah itu masuk kategori cagar budaya. karena unsur sejarah dan usia bangunan yang menyertai.
Namun, tak ada yang seistimewa Masjid Jamik Bengkulu. Letaknya ada di Jl Letjen Soeprapto, Kelurahan Pengantungan, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu.
Jika dilihat dari udara, posisi lahan masjid berbentuk segitiga, tepat berada di simpang empat yang membelah Jl Letjen Soeprapto, Jl MT Haryono, dan Jl Jenderal Sudirman.
Awalnya, masjid ini masih berupa surau atau musala bernama Surau Lamo yang menurut Bahasa Bengkulu artinya Surau Tua.
Surau Lamo dibangun oleh saudagar keturunan Bugis, Sulawesi Selatan bernama Daeng Makulle pada awal abad 18.
Makulle merupakan seorang datuk dagang dari daerah Tengah Padang, karena itu pula surau itu dikenal sebagai Surau Gadang atau Masjid Jamik Tengah Padang.
Saat itu, Surau Lamo posisinya tak jauh dari makam pahlawan nasional, Sentot Alibasya alias Pangeran Diponegoro, yang terletak di Kelurahan Bajak.
Bangunan awal masjid masih sangat sederhana, beratapkan rumbia, lalu tiang-tiang dan lantainya terbuat dari kayu.
Ketika memasuki abad 19, bangunan masjid dipindahkan ke lokasi sekarang dan lebih berkembang. Masjid berada di pusat perdagangan serta berfungsi untuk mempertemukan banyak kalangan ketika salat lima waktu.
Memasuki awal abad 20, para kaum tuo, begitu kalangan cerdik pandai dan ulama disapa di tanah Sumatra, bersama masyarakat setempat bersepakat merenovasi masjid, karena kondisinya mulai memerlukan perbaikan.
Pada saat bersamaan, tokoh nasional Soekarno masuk ke Bengkulu pada 14 Februari 1938, setelah menjalani pengasingan selama empat tahun di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Oleh penjajah Belanda, Bung Karno ditempatkan di sebuah rumah sewaan milik pengusaha Tionghoa bernama Tjang Tjen Kwat di Jl Jeruk, sekarang adalah Jl Soekarno-Hatta, Kota Bengkulu.
Bung Karno kerap mampir ke Masjid Jamik Tengah Padang untuk melaksanakan salat. Kebetulan, letaknya sekitar 1,5 kilometer dari rumah pengasingan Bung Karno dan dapat ia tempuh dengan jalan kaki atau bersepeda onthel. Ia melihat bahwa masjid harus dibangun ulang karena strukturnya sudah membahayakan jemaah ketika salat.
Proklamator ini tak asal bicara, sebab dia memang berlatar pendidikan insinyur teknik sipil dari Technische Hoogeschool (THS) atau kini lebih dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung.
Seperti ditulis Zein Abdul Baqir dalam Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, Bung Karno kemudian bermusyawarah bersama kaum tuo yang ia sebut sebagai bigotedly orthodox agar bersedia memperbarui masjid mereka.
Gayung bersambut karena kaum tuo pun memikirkan hal serupa dan mereka mencapai mufakat bahwa Bung Karno sendiri yang akan mendesain rupa baru masjid. Presiden RI Pertama itu tak ingin menerapkan desain bangunan bergaya Timur Tengah atau Eropa. Sukarno punya gayanya sendiri.
Desain Antikolonial
Oleh Yuke Ardhiati dalam buku Bung Karno Sang Arsitek disebutkan bahwa Bung Karno memiliki konsistensi padu padan gaya antikolonial dan mengedepankan konsep Indonesia. Itu memengaruhi model arsitektur karyanya pada periode 1926-1945.
Saat itu, Bung Karno tak banyak mengubah struktur bangunan. Namun lebih menegaskan paduan nuansa Jawa dan Sumatra pada desain masjid itu. Bung Karno mempertahankan sebagian struktur bangunan dan hanya mengubah bagian atap, tiang masjid, dan menaikkan tinggi lantai hingga 30 sentimeter, serta dinding ditinggikan lagi 2 meter.
Bagian atap diganti berbahan seng dan dibentuk bermodel mansard atau atap tinggi bersisi empat miring curam dengan sedikit tekukan pada bagian bawah. Atapnya dibuat bersusun atau bertumpuk tiga melambangkan iman, Islam, dan ihsan.
Ada filosofi khusus mengapa bagian atap dan plafon dibuat tinggi seolah-seolah ingin mencakar langit karena melambangkan ketaatan kepada Tuhan. Ada ornamen tambahan yaitu hiasan kemuncak atau menyerupai gada pada puncak atap. Konon, Sukarno terinspirasi oleh senjata gada milik tokoh pewayangan favoritnya yakni Bima.
Masjid Jamik Bengkulu mempunyai tiga bangunan yang saling menyatu, yakni inti masjid, serambi, dan bangunan tempat wudhu. Pada inti masjid yang menjadi ruang utama salat ukurannya sebesar 14,65 meter x 14,65 meter dan terdapat tiga pintu masuk yang dibatasi oleh tiga pilar setinggi sekitar 2,5 meter.
Menariknya, Bung Karno tidak menempatkan tiang-tiang penopang pada bagian tengah interior masjid sehingga menghadirkan kesan lebih lapang dan lega.
Tiang-tiang justru disematkan pada setiap sisi bangunan masjid dengan jarak diatur. Bagian kepala pilar-pilar ini diberi ukiran motif sulur dari kayu jati.
Total ada 19 tiang yang diberi ukiran kayu di atasnya termasuk pada tiga tiang pembatas pintu masuk.
Kembali ke bangunan inti, suasananya terasa teduh karena dindingnya tinggi, sekitar 7 meter hingga mencapai plafon yang terbuat dari kayu jati cokelat.
Ada lubang angin bersusun dua di tiga sisi bangunan, tepat sekitar 20 sentimeter di bawah plafon.
Sekitar 1 meter di bawah lubang angin, ada motif ayat-ayat Alquran berkelir emas mengelilingi keempat sisi dalam bangunan. Bagian utama tempat salat ini mampu menampung sekitar 400 jemaah.
Pada bagian depan ruang utama salat terdapat sebuah mihrab berbahan beton berukuran 2,5 meter x 1,6 meter dengan mimbar khutbah bergaya Istanbul Ottoman dilengkapi empat anak tangga.
Tepat di atas mihrab ada dua kubah mini terbuat dari bahan stainless steel. Pada bagian serambi, bentuknya seperti persegi panjang dengan plafon berlapis kayu jati cokelat.
Serambi ini ditopang oleh tiang kayu besar persegi delapan. Masih ada satu bangunan lagi yakni tempat wudu berukuran 8,8 meter x 5,55 meter. Tepat di belakang serambi ada halaman luas masjid yang biasa dipakai untuk parkir kendaraan atau sebagai area salat Id.
Pemerintah pusat sejak 2004 telah menetapkan Masjid Jamik Bengkulu sebagai cagar budaya nasional yang diperkuat oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Rumah ibadah ini juga berfungsi sebagai objek wisata religi dan sejarah dan ramai dikunjungi oleh masyarakat lokal dan luar Bengkulu. ***
Penulis: Anton Setiawan
indonesia.go.id