Oleh : Hendra J Kede
Wartawan Anggota PWI
Sang Begawan melanjutkan.
Dewan Penasehat PWI sudah selayaknya menasehati Dewan Kehormatan untuk meletakkan pelaksanaan Rekomendasi Rakornas PWI Ancol 2024 sebagai agenda prioritas terutama terkait Tata Cara Beracara di Dewan Kehormatan PWI.
Nasehat itu sangat-sangat penting karena tidak bisa Dewan Kehormatan PWI memeriksa dan memutus suatu kasus kongkrit sebelum ada hukum acara atau Tata Cara Pemeriksaan tertulis yang sudah disahkan dan mengikat semua orang sebelumnya.
Bukankah hukum-hukum materil (seperti hukuman) yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PDPRT), Kode Etik Jutnalistik (KEJ) dan Kode Perilaku Wartawan (KPW) harus ditegakan dalam kenyataan?
Bukankah hukum-hukum itu hanya akan jadi pepesan kosong yang tak ada gunanya tanpa adanya hukum acara atau Tata Cara Pemeriksaan tertulis untuk menegakannya?
Bukankah tanpa Tata Cara Pemeriksaan maka hukum materiil itu sama sekali tidak bisa diaplikasikan pada kasus kongkrit?
Bukankah kalaupun dipaksakan diaplikasikan pada kasus kongkrit hanya akan buang-buang waktu dan tenaga karena apapun putusan terkait ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PDPRT, KEJ, dan KPW yang tidak ditegakan melalui hukum acara (ketentuan tata cara beracara yang sudah disahkan) akan berstatus batal demi hukum alias dianggap tidak ada proses hukum dan tidak ada putusan sama sekali?
Bukankah kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Kehormatan jika digunakan untuk memeriksa dan memutus menghukum seseorang sesuai hukuman yang terdapat dalam PDPRT, KEJ, dan KPW tanpa adanya ketentuan beracara yang sudah ditetapkan sebelumnya bukanlah kewenangan namamya, namun merupakan kesewenang-wenangan?
Dan bukankah kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh lembaga kuasi peradilan seperti Dewan Kehormatan PWI Pusat merupakan pelanggaran terhadap Hak Konstitusional dan Hak Azazi Manusia kepada orang yang dijatuhi sangsi tersebut?
Dan bukankah perilaku kesewenang-wenangan seperti ini, demi konstitusi dan HAM, haruslah diabaikan bahkan harus dilawan sesuai mekanisme hukum yang berlaku, baik hukum organisasi maupun hukum negara, dan kepada pelaku kesewenang-wenangan tersebut sudah sepatutnya diberikan hukuman organisasi maupun hukum negara?
Maka tidak ada hal lain yang harus dinasehatkan oleh Dewan Penasehat PWI kepada Dewan Kehormatan PWI sebelum memeriksa dan memutus kasus kongkrit terkait dugaan pelanggaran PDPRT, KEJ, dan KPW yang kewenangan memeriksa dan memutus diberikan kepada Dewan Kehormatan, melebihi nasehat untuk merumuskan dan memproses pengesahan Tata Cara Periksaan tertulis sehingga dapat dipedomani dan mengikat oleh semua orang, termasuk Dewan Kehormatan PWI itu sendiri.
Bagaimana jika sebelum Tata Cara Pemeriksaan ada kasus kongkrit, baik karena temuan maupun pengaduan?
Nasehat paling bijak dari Dewan Penasehat pada keadaan demikian adalah menunda pemeriksaan kasus kongkrit tersebut sampai Tata Cara Pemeriksaan selesai disahkan.
Itulah cara berfikir Dewan Penasehat yang oleh para begawan dimasa lalu diibaratkan bagaikan tongkat di siang hari dan suluh di malam hari.
Kalau tidak seperti itu bagaimana?
Itu sama saja Dewan Penasehat, entah disengaja atau tidak disengaja, setidaknya patut diduga, membiarkan Dewan Kehormatan patut diduga menggunakan kesewenangan, bukannya kewenangan.
Apakah konflik yang terjadi saat ini di PWI Pusat yang berawal dari adanya pemeriksaan dan keluarnya Putusan Dewan Kehormatan PWI yang belum punya Tata Cara Beracara?
Sang begawan menjawab, patut diduga memang itulah pokok awal masalahnya, yang berujung, sekali lagi, patut diduga adanya penggunaan kesewenangan oleh Dewan Kehormatan, bukannya kewenangan.
Bersambung…..