Leksi saLukh (*)
BENTENG None yang terletak di Desa Tetaf, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten TTS, adalah benteng alam yang hingga saat ini masih dijaga oleh suku atau marga Tauho.
Keluarga Tauho merupakan panglima perang (Meo). Bentuk Benteng None dikatakan benteng alam karena tak ada jalan lain, selain melewati bagian selatan untuk masuk ke benteng itu. Bagian barat, utara, dan timur terdapat tebing batu alam dengan kedalaman kurang lebih 15 meter, sehingga sulit dilewati musuh.
Konon, dikisahkan Benteng None adalah tempat untuk memperoleh kekuatan sebelum menghadapi musuh maupun sebelum berperang.
Hal itu terungkap saat perjalan koran ini bersama dua mahasiswi pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Fitri Coptisari dan Windy Paskawati ke Benteng None, beberapa waktu lalu.
Pewaris Benteng None Anderias Tauho menutur- kan, sejak dahulu hingga saat ini ada tiga ritual adat masih dilestarikan oleh para pewarisnya, meskipun sudah tidak ada lagi perang. Kekuatan yang diper- oleh dari beteng itu saat ini hanya untuk menjaga diri.
Dia menjelaskan, tiga ritual adat yang dimaksud adalah sebelum menyatakan perang terhadap mu- suh yakni pene (pengamatan), Ote Naus (meramal dan melakukan ramalan hasil perang), dan Bol Nu’ut (lubang pengintai).
Ketika hendak perang, kata dia, para penglima pe- rang (Meo) terlebih duhulu bertemu dan berunding. Selain itu, dilakukan pengamatan guna melihat dari arah mana kedatangan musuh.
“Belum mulai ber- perang panglima perang kumpul dan melakukan pengamatan supaya mengetahui musuh datang dari arah mana. Jika tidak melihat, maka satu-satunya ditempuh melalui ritual Ote Naus, untuk mencari tahu dari arah mana datangnya musuh karena melalui ritual Ote Naus dapat terdeteksi,” katanya. Selain melakukan ritual untuk mengetahui arah musuh, sambung dia, dilakukan ritual mengukur kekuatan lewat ramalan (Ote Naus) menggunakan tongkat. Dalam ramalan, Meo yang bertugas ditun- juk untuk melakukan pengukuran dengan meng- gunakan tongkat tersebut akan memegang ujung tongkatnya, kemudian ujung lain tongkat tersebut akan dilekatkan pada tiang lopo yang dikhususkan untuk ritual Ote Naus dan jika kuku jari jempol meo tersebut tidak menyentuh tiang lopo tersebut itu pertanda akan mengalami kekalahan.
Tahapan selanjutnya Ote Naus adalah menggam- barkan empat penjuru mata angin pada sebutir telur ayam kampung untuk menentukan strategi apa yang digunakan dalam peperangan tersebut, kemudian mengetahui arah musuh datang.
“ alau Ote Naus, kuku meo tidak menyentuh tiang itu ka- lah dan pasti akan ada darah dalam telur tersebut yang juga menandakan kekalahan sehingga pasu- kan yang hendak dikirim untuk berperang akan dibatalkan. Kalau meramal tanda menang kukunya menyentuh tiang, pasti saat telur dipecahkan tak ada darah, maka semua pasukan akan disebar untuk pergi berperang,” jelas Tauho.
Dia menambakan, khusus Bol Nu’ut manjadi per- tahanan di dalam benteng itu, sehingga dua orang Meo akan ditugaskan untuk menjaga keamanan benteng tersebut dengan siaga menggunakan senjata selama pasukan keluar berperang. Jika ada musuh yang mendekati benteng, kedua Meo ini ha- rus menembak mati musuh tersebut dan jika sudah ada musuh yang ditembak mati maka peperangan dianggap selesai.
“Sistem perang dulu tidak seperti sistem perang saat ini, sehingga semua musuh harus dibunuh. Tetapi cukup satu musuh yang dibunuh, entah itu menggunakan tombak, senapan, atau parang, maka perang dianggap selesai. Kita akan memeng- gal kepala musuh yang mati dan dibawa pulang ke benteng untuk kemudian dikeringkan sebelum dibungkus dengan kain selimut untuk diantar ke istana raja,” pungkasnya.
Dalam catatan perang suku antara Amanuban dengan Mollo dan Amanatun terdapat 18 musuh yang berhasil dibunuh dan kepalanya dikeringkan di Benteng None sebelum diantar ke hadapan raja.
Benteng Alam
Seperti disebutkan di atas Benteng None tergolong benteng alam. Pada zaman perang. bagian selatan dijaga ketat oleh dua Meo. Meo yang bertugas menjaga benteng akan mengintai musuh melalui Bol Nu’ut (lubang pengintai) yang terletak di pintu gerbang selatan dengan susunan batu alam setebal kurang lebih 80 centimeter dengan tinggi satu meter. Pagar susunan batu alam di atasnya tumbuh kaktus (Naus) secara alami, sehingga pada saat perang suku Raja Nope tetap berjaya.
Para musuh yang hendak masuk menyerang tidak menyangka kalau dipantau oleh Meo yang bertugas memantau di gerbang selatan.
Benteng None merupakan salah satu benteng di wilayah kerajaan Amanuban yang ada pada masa kejayaan Raja Nope, kini telah berusia ratusan ta- hun. Selain pagar batu alam yang terbentang di bagian selatan, terbentang tebing batu alami di tiga bagian yakni barat, timur, dan utara.
Dalam Benteng None terdapat peninggalan dua lopo yang dibangun di waktu perang sebagai tempat berunding dan satu ume kbubu sebagai tempat me- nyimpan makan, khusus untuk ibu-ibu yang masak untuk menyajikan makanan bagi para panglima perang. Kedua lopo bertiang empat itu tak pernah dipindahkan dari tempat semula, kecuali atap alang- alang yang diganti, karena termakan usia termasuk atap ume kbubu.
Salah satu lopo yang dahulunya disiapkan untuk raja menginap saat berkunjung, sampai saat ini su- dah rusak dan kini tinggal tiga tiang. Sama halnya lopo persembahan sajian sekarang tinggal altar berupa susunan batu alam dan uniknya bahkan pohon kemiri tumbuh di bekas lubang tiang.
Kendati lopo persembahan itu tidak ada lagi, kata dia, biasanya di saat kemarau berkepanjangan masih dilakukan ritual dengan membunuh babi, untuk meminta hujan sedangkan di saat mendekat panen atau sudah panen, dilakukan ritual persembahan sebagai ucapan terima kasih dengan jumlah hewan kurban lebih banyak dan hewan yang dikurbankan ada juga sapi.
Fungsi Masing-masing Lopo
Dijelaskannya, lopo yang masih ada memiliki fungsi masing-masing yakni dua lopo utama terletak di tengah benteng berfungsi sebagai lopo tempat pe- rundingan para Meo untuk menyusun siasat perang melawan musuh. Sedangkan lopo kedua yakni Lopo Pene (Pengamatan) ke kebagian Barat, Timur, dan Utara posisi musuh, sedangkan untuk lopo ketiga yakni Lopo Meramal Kekuatan (Ote Naus).
Sesuai buku tamu, terdaftar sejumlah nama pen- gujung yakni dari Jepang, Korea, Swedia, Taiwan, Inggris, Belanda, Filipina, Amerika, Singapura, Denmark, Hongaria, Australia, Italia, India, Uruguay, Swissland, Brasil, Cekoslowakia, dan sejumlah ne- gara lainnya yang sudah mengunjungi benteng itu. Dalam negeri dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Mataram. ***