_Tanpa Riba_ Peran Ariyah dan Hiwalah dalam Menjaga Keharmonisan Sosial Menurut Ekonomi
Penulis : Rizka Sugiarto
Tanpa Imbalan, Tanpa Riba: Peran Ariyah dan Hiwalah dalam Menjaga Keharmonisan Sosial Menurut Ekonomi Syariah
Pernahkah kamu meminjamkan payung kepada teman saat hujan deras tanpa meminta imbalan? Atau pernahkah kamu meminta bantuan saudara untuk melunasi utang karena sedang tidak punya uang tunai? Sekilas, hal-hal seperti ini tampak sepele dan biasa saja. Namun dalam pandangan Islam, tindakan-tindakan ini bukan hanya bentuk kebaikan, tapi juga bagian dari sistem ekonomi yang penuh keberkahan. Inilah yang dikenal dengan akad Ariyah dan Hiwalah—dua konsep tolong-menolong yang tidak hanya menguatkan hubungan sosial, tetapi juga menjaga keadilan dan menghindarkan umat dari praktik riba.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering saling membantu, baik dengan meminjamkan barang maupun membantu pelunasan utang. Islam tidak hanya menganjurkan sikap tolong-menolong, tetapi juga mengaturnya dalam bentuk akad yang sah dan terstruktur. Dua di antaranya yang sangat penting namun sering kita jalani tanpa sadar adalah akad Ariyah dan Hiwalah. Keduanya merupakan bentuk interaksi sosial yang tidak bersifat komersial, namun sangat berdampak dalam membangun masyarakat yang adil, amanah, dan peduli terhadap sesama.
Pengertian Ariyah dan Hiwalah
Ariyah adalah akad pinjam-meminjam barang yang manfaatnya dapat digunakan tanpa mengurangi zat barang tersebut, dan diberikan secara cuma-cuma, tanpa imbalan. Secara bahasa, Ariyah berasal dari kata al-‘araya yang berarti pemberian secara sukarela. Contoh nyatanya adalah meminjamkan sepeda, buku, atau peralatan rumah tangga kepada teman atau tetangga. Islam sangat menganjurkan praktik ini sebagai bentuk solidaritas, sebagaimana dalam Al-Qur’an surah Al-Ma’idah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…”
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Ibnu Majah).
Untuk sahnya akad Ariyah, terdapat beberapa rukun, yaitu:
- Adanya pihak peminjam dan yang dipinjamkan
- Barang yang tidak habis pakai (seperti kendaraan, alat masak, dll)
- Adanya ijab kabul, baik secara lisan, tulisan, maupun perilaku
Barang yang dipinjam harus dikembalikan dalam keadaan semula. Jika rusak karena kelalaian, maka peminjam wajib mengganti. Namun jika rusak bukan karena kesalahan peminjam, ia tidak dibebani ganti rugi. Selain itu, peminjam tidak diperbolehkan meminjamkan barang tersebut kepada orang lain tanpa izin dari pemilik barang. Karena akad ini bersifat sosial, maka tidak boleh ada imbalan. Jika ada bayaran, maka akad berubah menjadi ijarah (sewa).
Berbeda dari Ariyah, Hiwalah adalah akad pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain. Dalam kehidupan nyata, ini terjadi misalnya saat seseorang yang memiliki utang meminta pihak lain untuk membayarkan utangnya kepada kreditur. Secara bahasa, Hiwalah berarti memindahkan atau mengalihkan. Akad ini sah secara syariah dengan dasar hadis Nabi SAW: “Jika kalian dialihkan kepada orang yang mampu, maka terimalah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Para ulama juga sepakat bahwa pengalihan utang diperbolehkan selama disetujui oleh semua pihak yang terlibat.
Rukun Hiwalah terdiri dari tiga pihak:
- Muhil (yang memiliki utang dan ingin mengalihkan)
- Muhal lahu (kreditur)
- Muhal ‘alayh (pihak yang ditunjuk untuk membayar)
Objek pengalihan harus berupa utang yang sah, jelas jumlah dan waktunya, dan tidak mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Semua pihak harus menyatakan persetujuan, baik secara lisan, tertulis, maupun melalui praktik nyata. Setelah Hiwalah disepakati, maka tanggung jawab pembayaran berpindah sepenuhnya ke pihak ketiga, dan pihak pertama tidak lagi dibebani. Namun, pihak ketiga haruslah orang yang dikenal mampu membayar.
Hiwalah terbagi menjadi dua jenis:
- Hiwalah al-Muqayyadah: pengalihan utang yang dibatasi syarat tertentu (seperti waktu atau cara pembayaran)
- Hiwalah al-Mutlaqah: pengalihan utang secara penuh tanpa syarat tambahan
Kedua jenis ini tetap harus bebas dari unsur haram seperti riba, penipuan, atau paksaan.
Nilai Sosial dan Ekonomi dalam Ariyah dan Hiwalah
Ariyah dan Hiwalah bukan hanya sekadar transaksi antarindividu, tetapi mencerminkan nilai-nilai luhur dalam Islam: tolong-menolong, keadilan, dan amanah.
- Ariyah mendorong budaya berbagi dan saling membantu tanpa pamrih. Ketika seseorang meminjamkan barang miliknya tanpa mengharapkan keuntungan, hal itu membangun rasa saling percaya.
- Hiwalah menunjukkan bahwa penyelesaian kewajiban finansial tidak harus dilakukan sendiri. Dengan persetujuan yang adil, seseorang bisa meringankan beban utangnya melalui bantuan pihak ketiga.
Dengan adanya akad seperti ini, masyarakat akan terhindar dari praktik riba, yang secara jelas dilarang dalam Islam karena menimbulkan ketimpangan, penindasan, dan ketidakadilan.
Implementasi dalam Konteks Modern
Di masa kini, konsep Ariyah dan Hiwalah tetap relevan dan bahkan sangat dibutuhkan. Ketika biaya hidup tinggi dan sistem ekonomi dipenuhi unsur bunga, praktik Ariyah dan Hiwalah menjadi solusi Islami yang adil dan bermakna sosial.
Contoh modern:
- Ariyah: meminjamkan peralatan komunitas seperti alat panggung, alat pertanian, atau laptop kerja secara cuma-cuma
- Hiwalah: digunakan oleh lembaga keuangan syariah dalam restrukturisasi utang nasabah melalui kerja sama dengan pihak ketiga yang dipercaya
Tantangannya terletak pada pemahaman masyarakat yang masih minim serta kurangnya edukasi tentang akad-akad ini. Padahal, penerapannya bisa menciptakan lingkungan sosial yang sehat dan ekonomi yang jauh dari riba.
Kesimpulan
Ariyah dan Hiwalah adalah dua instrumen penting dalam ekonomi syariah yang berakar pada nilai sosial dan spiritual Islam. Keduanya mendorong terwujudnya masyarakat yang saling tolong, jujur, dan bebas dari eksploitasi. Di tengah derasnya arus sistem ekonomi konvensional yang berorientasi pada keuntungan, memperkuat kembali akad-akad ini adalah langkah menuju sistem sosial-ekonomi yang lebih adil dan harmonis.
Melalui pemahaman dan pengamalan Ariyah dan Hiwalah, kita tidak hanya menunaikan syariat, tetapi juga memperkuat jaringan sosial yang penuh keberkahan dan kasih sayang.
Daftar Pustaka
- Al-Qur’an al-Karim. (n.d.). Surah Al-Ma’idah [5]: Ayat 2.
- Muslim. (n.d.). Sahih Muslim (No. 2699).
- Bukhari, & Muslim. (n.d.). Bab Hiwalah.
- Ibnu Qudamah. (1994). Al-Mughni. Beirut: Dar al-Fikr.
- az-Zuhaili, W. (1989). Fiqh Islam wa Adillatuhu (Vol. 5). Damaskus: Dar al-Fikr.
- Sabiq, S. (1990). Fiqh Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr.
- Usmani, M. T. (2002). An Introduction to Islamic Finance. Karachi: Idaratul Ma’arif.
- Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
- Ascarya. (2008). Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Rajawali Pers.
Rizka Sugiarto adalah
Mahasiswa semester 2 Jurusan Sistem Informasi – STMIK Tazkia Bogor