Benz Jono Hartono (*)
Di antara kiblat geopolitik dan diplomasi dunia, umat Islam Indonesia seolah terjebak dalam pusaran kekuatan besar: Iran, Israel, dan Amerika Serikat.
Tiga entitas ini bukan hanya simbol kekuatan militer dan diplomasi, tetapi juga ikon ideologis yang saling bertabrakan, Syiah revolusioner Iran, Zionisme modern Israel, dan imperialisme liberal Amerika.
Di tengah pertarungan global ini, umat Islam Indonesia tampak gamang: hendak ke mana langkah kaki harus diarahkan?
Iran Romantisme Perlawanan dalam Balutan Revolusi
Iran selalu menjadi idola sebagian umat Islam Indonesia yang merindukan simbol perlawanan terhadap hegemoni Barat. Kata-kata “anti-imperialisme,” “perlawanan,” “muqawamah” begitu manis didengar telinga aktivis-aktivis Islam politik di tanah air.
Revolusi Islam 1979 adalah dongeng favorit yang dibacakan di banyak forum kajian politik. Namun, relasi teologis antara Sunni mayoritas Indonesia dan Syiah mayoritas Iran kerap menjadi ganjalan.
Meskipun Iran berdiri sebagai simbol ketegaran terhadap Amerika dan Israel, umat Islam Indonesia tidak bisa sepenuhnya akrab dengannya. Pertentangan teologis, konflik di Suriah, serta peran Iran di Yaman dan Irak membuat sebagian umat was-was, apakah Iran benar-benar “saudara seiman,” atau hanya alat negara dalam baju agama?
Israel Musuh yang legal
Di mata umat Islam Indonesia, Israel adalah luka lama yang tidak pernah sembuh. Sejak Nakbah 1948, solidaritas terhadap Palestina telah menjadi bagian dari identitas keumatan.
Israel tidak pernah hanya sekadar negara, ia adalah simbol penjajahan, kesewenang-wenangan, dan pengkhianatan atas kemanusiaan.
Namun kini, dunia Arab justru satu per satu berdamai dengan Tel Aviv, membuka kantor diplomatik, dan berpose bersama pejabat Mossad di balik meja perjanjian. Umat Islam Indonesia mulai bertanya, apakah kita ditinggalkan sejarah?
Sementara para pemimpin Arab beralih haluan, Indonesia masih memegang prinsip “dua negara,” walau dengan suara makin lirih dan diplomasi makin lemah. Di tengah ini semua, muncul suara-suara ganjil di dalam negeri yang mulai menyuarakan normalisasi — dibalut narasi investasi, keamanan siber, hingga kerja sama teknologi pertanian. Apakah umat siap menghadapi era ketika bendera Israel dikibarkan di Jakarta?
Amerika Serikat Antara Demokrasi dan Dominasi
Amerika Serikat adalah teman yang menjual senjata dan menjanjikan demokrasi, sekaligus mengintai dari balik drone dan intelijen.
Bagi umat Islam Indonesia, relasi dengan Amerika selalu ambigu, ia adalah pelindung beberapa organisasi Islam moderat lewat program bantuan dan dialog antaragama, namun juga pendukung utama Israel dalam membantai rakyat Palestina.
Intervensi AS di Timur Tengah, dari Irak, Suriah, hingga Afghanistan, telah memupuk ketidakpercayaan yang dalam. Tapi di sisi lain, Indonesia menggantungkan banyak hal pada Amerika teknologi, keamanan, bahkan narasi HAM dan pluralisme. Akibatnya, umat Islam Indonesia berada dalam posisi schizofrenik (membenci dominasi AS, tapi mengadopsi sistem dan nilai-nilai politiknya dengan rasa bangga).
Umat Islam Indonesia Menjadi Penonton dalam Permainan Global
Ketiganya, Iran, Israel, dan Amerika Serikat, sedang memainkan papan catur besar. Namun umat Islam Indonesia hanya duduk sebagai penonton, kadang bersorak, kadang memaki, tapi jarang menjadi pemain yang menentukan arah langkah.
Narasi keumatan kerap dijebak dalam wacana yang sempit, Sunni vs Syiah, radikal vs moderat, Arab vs Barat. Padahal tantangan utama umat bukan sekadar memilih antara Iran, Israel, atau Amerika, melainkan menemukan identitasnya sendiri dalam peta global.
Penutup
(membangun jalan sendiri)
Umat Islam Indonesia tidak bisa selamanya hidup dalam bayang-bayang konflik geopolitik luar negeri. Meniru Iran, berdamai seperti Uni Emirat Arab, atau tunduk kepada Washington bukanlah jalan satu-satunya.
Indonesia, sebagai negara dengan umat Islam terbesar di dunia, seharusnya menjadi trendsetter peradaban, bukan pengekor tren politik luar.
Kini saatnya umat Islam Indonesia membangun paradigma baru, bersuara untuk keadilan, berpolitik dengan akhlak, dan memimpin dengan gagasan, bukan ilusi. Dunia boleh gaduh, tapi kita harus jernih, agar tidak terjebak menjadi pion dalam permainan orang lain.
Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa di
Jakarta