banner 728x250

Wadapa, Inilah Daerah Berpotensi Hadapi Musim Kemarau

Wadapa, Inilah Daerah Berpotensi Hadapi Musim Kemarau/ft:antara
banner 120x600
banner 468x60
Jakarta, Sumateradaily.com– Saat ini ada 19 persen zona di wilayah Indonesia memasuki fase kemarau mulai dari sebagian Aceh, Sumatra Utara, Riau, Jabar, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Fenomena panas terik hingga 40 derajat Celcius di siang hari dan beberapa kali hujan turun di waktu malam hingga dini hari menghiasi cuaca akhir-akhir ini. Rupanya, ini adalah penanda bahwa Indonesia sedang memasuki transisi dari musim penghujan menuju musim kemarau. Artinya, semakin terik suhu udara diikuti hujan pada malam hari meski tidak selebat saat musim penghujan pada umumnya merupakan indikator alami dari akhir musim transisi pertama.

Hal itu sesuai prediksi Badan Klimatologi, Meteorologi, dan Geofisika (BMKG) yang menyebut awal musim kemarau akan terjadi sejak Mei hingga Agustus 2024. Mayoritas wilayah di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sudah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) sepanjang 21–30 hari atau bahkan lebih panjang. Saat ini ada 19 persen zona di wilayah Indonesia memasuki fase kemarau mulai dari sebagian Aceh, Sumatra Utara, Riau, Jabar, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

banner 325x300

Berdasarkan pengamatan curah hujan dan sifat hujan, kondisi kering sudah mulai dirasakan terutama di bagian selatan khatulistiwa. Misalnya saja dari hasil pengamatan Stasiun Geofisika Kelas 1 Bandung BMKG di wilayah pantai utara Jawa Barat seperti di Kabupaten Subang dan Indramayu. Kedua daerah lumbung beras nasional tersebut sejak April sudah mengalami kemarau karena tidak mengalami turun hujan.

Bahkan menurut Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Wilayah III Denpasar, kawasan Nusa Penida tidak mengalami turun hujan penuh sejak Maret 2024. Tim Meteorologi BMKG pun telah memetakan daerah dengan potensi curah hujan bulanan sangat rendah dengan kategori kurang dari 50 milimeter per bulan. Daerah-daerah tersebut akan mendapatkan perhatian khusus untuk mitigasi dan antisipasi dari dampak kekeringan.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, daerah yang dimaksud adalah sebagian besar Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan Maluku, serta Papua. Meski demikian, di sebagian wilayah lainnya dalam beberapa waktu ke depan masih harus berhadapan dengan hujan yang berpotensi bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, banjir bandang dan lahar dingin, serta longsor.

Hal senada turut disampaikan peneliti pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan. Berdasar analisis perilaku data Indian Ocean Dipole (IOD) yang ada di Samudra Hindia, maka khusus untuk kawasan barat Indonesia dan pantura Jawa sudah sejak April mengalami kondisi panas dan mencapai puncaknya pada Juli 2024.

Situasi itu ikut diperparah oleh mulai berembusnya angin timuran yang bergerak melintasi Indonesia dari gurun utara Australia seiring posisi matahari bergeser dari ekuator sejak 21 Maret 2024. Matahari bergerak semu ke belahan utara bumi. Uap air di barat Indonesia ikut bergeser ke arah timur pantai timur Afrika. “Jadi, ada indikasi kuat jika kondisi panas ini akan terus berlanjut,” kata Eddy seperti dilansir Antara.

Rekayasa Cuaca

Dwikorita menyebutkan, memperhatikan dinamika atmosfer jangka pendek terkini, masih terdapat jendela waktu yang sangat singkat yang bisa dimanfaatkan secara optimal sebelum memasuki periode pertengahan musim kemarau. Oleh sebab itu, BMKG bersama BRIN menggandeng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta TNI Angkatan Udara melakukan rekayasa cuaca.

Bentuknya adalah dengan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) mulai 30 Mei 2024 hingga 10 Juni 2024 di empat posko meliputi Jakarta, Bandung, Solo, dan Surabaya. Operaasi ini mendapat dukungan 4 unit pesawat jenis CASA N-212 TNI-AU yang akan menebarkan natrium klorida (NaCl) atau garam ke bibit awan hujan guna memperbanyak pasokan air di 35 waduk utama bagi irigasi lahan pertanian di Jawa selama musim kemarau nantinya.

Pihaknya merekomendasikan penerapan teknologi modifikasi cuaca untuk pengisian waduk-waduk di daerah yang berpotensi mengalami kondisi kering saat musim kemarau dan membasahi atau menaikkan muka air tanah. Ini berguna mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) termasuk pada lahan gambut.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menambahkan, rekayasa cuaca di atas Pulau Jawa dilakukan serentak. Ini dilakukan lantaran sempitnya peluang (window of opportunity) pertumbuhan awan yang masih memungkinkan untuk disemai agar menjadi hujan.

Sementara itu, Deputi Meteorologi BMKG Guswanto mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk memanfaatkan waktu yang tersisa dari fase transisi untuk secara optimal menampung air. Karena setelah masuk kemarau kering, maka curah hujan dapat berkurang hingga sangat rendah, kurang dari 50 milimeter per bulan. Setidaknya akan terjadi mulai awal Juni sampai September 2024.

Jika air tidak dikelola secara baik, maka kekeringan akan berdampak pada produktivitas pertanian dan ketahanan pangan nasional. Yuk berhemat air dari sekarang.***

 

Sumber: Anton Setiawan/indonesia.go.id

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *