banner 728x250
OPINI  

Integritas dan Netralitas dalam Penyelenggaraan Pemilu

banner 120x600
banner 468x60

Oleh : Yulfi Alfikri Noer S,IP., M.AP Tenaga Ahli Gubernur Bidang Tata Kelola Pemerintahan

Terkait dengan penangkapan salah satu petinggi KPU RI, Wahyu Setiawan, dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK (KOMPAS.com, 9/01/2020), masyarakat dihebohkan dengan kasus dugaan penyuapan dalam pergantian anggota legislatif yang mengguncang netralitas dan integritas KPU di berbagai tingkatan, baik provinsi maupun kabupaten/kota selama penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada.

banner 325x300

Lebih menarik, Wahyu Setiawan setelah didakwa oleh KPK atas penerimaan suap, mengajukan diri sebagai Justice Collaborator (JC) untuk mengungkap berbagai kecurangan yang mungkin terjadi oleh KPU dalam pemilihan Presiden dan Pilkada di berbagai daerah. Apabila apa yang dikatakan Wahyu Setiawan benar, bahwa ia memiliki informasi penting tentang kecurangan dalam pemilihan Presiden dan Pilkada, maka hal ini menggugah pertanyaan tentang dampak signifikan hak pilih rakyat atau kurangnya kontrol mereka dalam menentukan jalannya pemilihan umum.

Situasi ini menunjukkan pentingnya kepatuhan terhadap aturan dan integritas dalam penyelenggaraan pemilihan umum, serta perlunya sistem pengawasan yang ketat untuk mencegah tindakan korupsi dan kecurangan yang dapat merusak proses demokrasi. Masyarakat, pemerintah, dan lembaga penegak hukum perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa pemilihan umum dilakukan dengan integritas dan keadilan, sehingga hak pilih masyarakat dapat dihormati dan dipertahankan.
Dalam konteks Pemilu/Pemilukada, untuk menilai etika penyelenggara pemilihan, patokannya adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur perilaku mereka, baik dalam aspek administratif maupun yang berkaitan dengan pelanggaran hukum.

Etika dan moral menjadi sangat penting dalam menjaga integritas penyelenggaraan pemilihan ini. Penyelenggara Pemilu/Pemilukada harus memiliki standar etika yang tinggi, mengingat mereka berperan sebagai teladan dalam pemikiran dan perilaku, serta sebagai pengawas dan pelindung hak politik.

Kode etik penyelenggara Pemilu/Pemilukada adalah serangkaian prinsip moral, etika, dan filosofis yang menjadi pedoman perilaku mereka. Kode etik ini mengatur apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan oleh penyelenggara pemilihan.

Prinsip utamanya adalah bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh pihak yang profesional, independen, dan netral. Ini merupakan prasyarat utama untuk menjalankan pemilu secara demokratis.
Diperlukan kode etik ini karena penyelenggara Pemilu/Pemilukada, baik sebagai individu maupun lembaga, memiliki potensi untuk tidak menjalankan tugasnya dengan profesional, menjadi pihak yang memihak, atau kehilangan kemandirian. Potensi ini bisa berasal dari berbagai faktor, seperti dorongan untuk mendapatkan kekuasaan, sumber daya ekonomi, kapasitas yang bervariasi, atau orientasi yang beragam.

Penyelenggara Pemilu/Pemilukada diwajibkan untuk bertindak dengan netralitas, yaitu tidak mendukung atau memihak kepada partai politik tertentu, peserta pemilu, atau media massa tertentu.

Mereka juga tidak diperbolehkan menerima hadiah atau suap dari peserta pemilihan. Pentingnya netralitas dan profesionalisme penyelenggara Pemilu/Pemilukada sangat besar, mengingat bahwa kedaulatan rakyat dalam pemilihan tidak hanya tergantung pada partisipasi masyarakat dalam pemungutan suara, tetapi juga pada penyelenggaraan pemilihan yang jujur dan adil oleh lembaga seperti KPU. Integritas penyelenggara pemilihan adalah salah satu fondasi demokrasi yang kuat.

Dalam kasus Pemilukada Provinsi Jambi tahun 2020, terungkap adanya tindakan yang dilakukan oleh salah satu anggota KPU Provinsi Jambi yang diduga melanggar kode etik penyelenggara pemilu dan prosedur yang berlaku. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah mengadakan sidang untuk memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) yang dilaporkan oleh Ansori terhadap Anggota KPU Provinsi Jambi, M. Sanusi. Dalam laporan ini, M. Sanusi dituduh tidak bersikap netral dan diduga telah memihak kepada salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Provinsi Jambi. M. Sanusi juga diduga telah memberikan Daftar Pemilih Tetap (DPT) kepada pasangan calon tersebut, meskipun data tersebut belum direkam dengan KTP elektronik.

Data DPT ini kemudian digunakan oleh pasangan calon tersebut sebagai dasar untuk mengajukan gugatan terhadap KPU di Mahkamah Konstitusi yang berujung pada putusan untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) oleh MK.

Pada sidang di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI) pada tanggal 5 Maret 2021 (dapat disaksikan di kanal YouTube DKPP RI dengan tautan https://www.youtube.com/watch?v=Lhi4QV-TkVc), fakta persidangan DKPP mengungkap bahwa Ivan Oriza Fikri, Staf Program dan Data KPU Provinsi Jambi, telah memberikan data DPT yang belum direkam dengan E-KTP kepada M. Sanusi melalui pesan WhatsApp pada tanggal 11 Desember 2020, sementara permintaan data dari salah satu tim pendukung pasangan calon diserahkan pada tanggal 24 Oktober 2020.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi dalam persidangan, terdapat dua jenis data yang disoroti, yaitu data internal dan data eksternal. Data internal adalah data yang lengkap, di mana Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (NKK) tidak dicacatkan. Sedangkan data eksternal adalah data yang NIK dan NKK-nya dicacatkan, langkah ini diambil untuk melindungi privasi data pemilih.

Selama persidangan, terungkap bahwa M. Sanusi juga meminta Ivan (staf Ahdiyenti) untuk memberikan data non-el-KTP tersebut kepada Iin Habibi. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan mengapa tim pendukung salah satu pasangan calon tersebut meminta data tersebut, terutama setelah DPT telah disetujui dalam rapat pleno. Semua ini memunculkan pertanyaan yang perlu dijawab untuk memahami dinamika di balik situasi tersebut.

Dalam mengakhiri tulisan ini, kita harus merangkum inti dari pembahasan sebelumnya dan menggarisbawahi pentingnya menjaga integritas dan netralitas dalam penyelenggaraan pemilihan. Penangkapan Wahyu Setiawan dan kasus Pemilukada Provinsi Jambi tahun 2020 adalah contoh yang memperlihatkan potensi kerentanan dalam proses pemilihan umum.

Pemilihan umum merupakan landasan demokrasi yang kuat dan, oleh karena itu, menjaga profesionalisme, netralitas, dan kepatuhan terhadap etika adalah kunci untuk memastikan bahwa hak pilih masyarakat dihormati dan pemilihan dilakukan dengan integritas. Kode etik penyelenggara pemilihan adalah alat yang sangat penting untuk menjaga standar ini.

Melalui kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga penegak hukum, kita dapat membangun sistem pemilihan umum yang lebih adil dan transparan, Momen ini mendorong kita semua untuk berpikir lebih dalam tentang bagaimana kita dapat memastikan bahwa penyelenggaraan pemilihan di negara ini selalu memenuhi standar etika yang tinggi, agar masyarakat dapat memiliki keyakinan penuh dalam proses demokratis yang transparan dan jujur dan memastikan bahwa demokrasi kita tetap kuat dan relevan di tengah tantangan zaman.

banner 325x300