Oleh: Syaiful Bakri
Ketua Forum Masyarakat Peduli Pilkada Jambi (FMP2J)
Dalam debat perdana calon Gubernur Jambi yang berlangsung pada Minggu malam (27/10/2024), calon gubernur nomor urut 1, Romi Hariyanto, menyampaikan permohonan kepada calon gubernur nomor urut 2, Al Haris, untuk mengikhlaskannya melanjutkan jabatan gubernur periode berikutnya.
Permintaan Romi Hariyanto kepada Al Haris agar “mengikhlaskan” jabatan bisa ditafsirkan sebagai cerminan ambisi kuat untuk memperoleh kekuasaan tanpa melalui proses pembuktian kemampuan yang lebih substantif.
Menginginkan lawan politik “mengalah” bukan sekadar sebuah ungkapan, melainkan dapat dianggap sebagai tanda bahwa Romi lebih mementingkan hasil akhir menduduki jabatan gubernur daripada mengedepankan gagasan, visi, dan kemampuan memimpin.
Dari sudut pandang ini, permintaan tersebut bisa mencerminkan bahwa Romi lebih fokus pada jalan pintas demi kekuasaan, sebuah pendekatan yang berisiko mempersempit ruang dialog dan transparansi dalam kompetisi politik.
Ambisi mengejar kekuasaan dengan cara ini bisa memberi kesan bahwa Romi memandang jabatan gubernur sebagai sekadar posisi yang diincar, bukan sebagai amanah yang perlu dipertanggungjawabkan secara demokratis dan berdasarkan kepentingan rakyat Jambi.
Selain itu, permintaan semacam ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mengurangi atau bahkan menihilkan peran Al Haris sebagai kandidat petahana yang berpotensi mengancam ambisi Romi.
Dengan harapan agar Al Haris “memberi jalan,” Romi secara tidak langsung menunjukkan bahwa persaingan yang setara bisa menjadi penghalang ambisinya, kesan yang berisiko mencerminkan sikap menghalalkan segala cara untuk mengejar kekuasaan.
Pada akhirnya, permintaan ini bisa dilihat bukan hanya sebagai taktik politik, tetapi sebagai sinyal ambisi yang lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada visi pembangunan yang lebih substansial dan jangka panjang bagi masyarakat Jambi.
Pendekatan ini, pada akhirnya, bukan hanya sekadar taktik politik, melainkan juga sinyal kuat yang menunjukkan prioritas pada jabatan, bukan kepentingan public.
Permintaan seperti ini bisa dipersepsikan sebagai cerminan bahwa jabatan gubernur lebih diinginkan sebagai bentuk ambisi pribadi daripada alat untuk melayani masyarakat.
Ini mungkin membuat publik berpikir bahwa keinginan Romi lebih didorong oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang menginginkan kekuasaan, bukan kebutuhan untuk membawa perubahan positif bagi Jambi.
Lebih lanjut, pendekatan ini dapat menunjukkan bagaimana sentimen pribadi dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian dari ambisi kekuasaan yang sebenarnya.
Dengan memainkan isu “keikhlasan,” Romi berusaha menyembunyikan ambisinya dengan sentimen yang terlihat seolah rendah hati atau bersahabat, padahal sebenarnya bertujuan untuk membuka jalan lebih mudah bagi kekuasaan.
Para ahli dalam bidang politik dan psikologi kekuasaan memiliki beberapa pandangan yang relevan mengenai tindakan seperti permintaan Romi ini.
Menurut penelitian dalam psikologi politik, ambisi kekuasaan yang disertai dengan upaya meminta “pengikhlasan” dari lawan politik tanpa persaingan terbuka sering kali dikaitkan dengan kecenderungan power-seeking behavior (perilaku pencari kekuasaan) yang mengutamakan pencapaian hasil akhir tanpa melalui mekanisme transparansi atau pertanggungjawaban.
Ahli politik seperti Niccolò Machiavelli bahkan mengungkapkan bahwa ambisi tanpa upaya pembuktian diri di lapangan atau persaingan yang setara bisa menjadi tanda instrumental rationality, yaitu fokus pada tujuan akhir tanpa memperhatikan etika atau prosedur yang adil.
Selain itu, dalam teori kepemimpinan publik, para ahli sering menekankan pentingnya integritas dan komitmen pada prinsip demokrasi yang menjunjung kompetisi sehat.
Menurut ilmuwan politik David Easton, tindakan yang mengabaikan kompetisi terbuka dan adil cenderung memperlemah legitimasi seorang pemimpin di mata publik, karena legitimasi dalam demokrasi diperoleh melalui kepercayaan dan proses persaingan yang setara, bukan dari pemberian atau kompromi sepihak.
Ketika seorang kandidat terlihat lebih berfokus pada strategi ‘jalan pintas’ ketimbang menawarkan gagasan atau visi jangka panjang, publik cenderung melihatnya sebagai bentuk manipulasi yang bertujuan memperkuat ambisi pribadi.
Dari perspektif psikologi kepemimpinan, riset oleh ahli seperti Robert Greene juga mengungkapkan bahwa upaya untuk “menghindari persaingan” dengan memanfaatkan sentimen pribadi dapat menjadi tanda pendekatan kekuasaan yang egosentris, di mana seseorang lebih memandang posisi sebagai bentuk penguasaan ketimbang amanah yang harus dipertanggungjawabkan.
Hal ini sering kali berujung pada persepsi publik bahwa kandidat tersebut tidak benar-benar berkomitmen untuk melayani kepentingan publik, melainkan lebih pada mengejar keuntungan atau pengaruh pribadi.
Singkatnya, para ahli melihat ambisi yang diiringi dengan taktik seperti “meminta pengikhlasan” tanpa persaingan langsung bisa dipandang sebagai indikator bahwa kandidat tersebut lebih tertarik pada kekuasaan daripada komitmen untuk melayani, dan ini pada akhirnya dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap kandidat itu sendiri.
Dalam konteks politik Jambi, permintaan Romi Hariyanto agar Al Haris “mengikhlaskan” jabatan gubernur mencerminkan tantangan yang dihadapi dalam menjaga integritas demokrasi dan kompetisi yang sehat.
Taktik politik semacam ini, yang lebih menekankan pada ambisi pribadi daripada visi pembangunan, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Jambi untuk secara kritis menilai setiap tindakan dan pernyataan para calon pemimpin mereka, agar dapat memilih sosok yang benar-benar berkomitmen untuk melayani kepentingan publik, bukan sekadar mengejar ambisi pribadi yang dapat merugikan masa depan daerah ini.***