Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP
Akademisi UIN STS Jambi
Kepemimpinan yang efektif di era modern ini tidak hanya diukur dari kebijakan yang dikeluarkan, tetapi juga dari sejauh mana kebijakan tersebut menyentuh dan memberdayakan rakyat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata ‘merakyat’ adalah ‘sampai ke rakyat,’ yang mencerminkan esensi dari kepemimpinan yang responsif dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
Ini berarti bahwa segala tindakan, kebijakan, atau pendekatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin atau pejabat harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat umum. Merakyat bukan sekadar retorika atau formalitas, tetapi mencerminkan bahwa upaya tersebut benar-benar menyentuh dan berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari rakyat.
Oleh karena itu, konsep merakyat mengacu pada pendekatan atau sikap pemimpin yang tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak demi kesejahteraan rakyatnya. Pemimpin yang benar-benar “merakyat” akan terlibat aktif dalam mendengarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, serta memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan publik. Ini lebih dari sekadar retorika atau janji-janji kosong; konsep ini mengharuskan adanya tindakan nyata yang dapat diukur dampaknya pada kehidupan sehari-hari rakyat.
Namun, dalam praktiknya, klaim merakyat dan pejuang rakyat seringkali bertentangan dengan realitas yang ada. Dalam konteks kepemimpinan daerah, seorang pemimpin layak disebut sebagai “pejuang rakyat” jika ia tidak hanya menduduki jabatan formal, tetapi benar-benar memperjuangkan kepentingan umum. Gelar ini tidak bisa diberikan begitu saja hanya karena seseorang berada di posisi kekuasaan, melainkan harus dibuktikan melalui kebijakan yang nyata dan berdampak positif.
Sayangnya, kondisi di lapangan seringkali tidak sejalan dengan klaim tersebut. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan yang cukup signifikan dalam kesejahteraan masyarakat.
Sebagai contoh, laporan dari BPS Tanjung Jabung Timur pada tahun 2021 menunjukkan peningkatan persentase penduduk miskin menjadi 11,39 persen, dibandingkan dengan 10,95 persen di tahun 2020. Hal ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Selain itu, hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) mencatat prevalensi stunting di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang mencapai 25,6 persen pada tahun 2021. Meskipun angka ini sempat turun menjadi 22,5 persen di tahun 2022, data terbaru menunjukkan peningkatan kembali menjadi 23,7 persen pada tahun 2023. Hasil ini menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan yang tertinggi di antara 11 kabupaten/kota di Provinsi Jambi.
Kondisi ekonomi dan sosial yang kian memburuk ini diperparah oleh lambatnya perbaikan infrastruktur dasar yang sangat dibutuhkan masyarakat. Selama 10 tahun Romi Hariyanto menjabat sebagai Bupati Tanjung Jabung Timur, kondisi infrastruktur jalan di daerah tersebut masih memprihatinkan. Banyak jalan yang rusak parah, terutama di Simbur Naik dan Kecamatan Sadu di mana kondisi jalannya sangat tidak layak untuk dilewati oleh warga. Ironisnya, fokus pembangunan justru diarahkan pada proyek-proyek infrastruktur yang tidak mendesak, seperti membangun sirkuit yang lebih mengutamakan kebutuhan kota, sementara banyak kebutuhan dasar masyarakat yang belum terpenuhi. (Sumber: Warga Pertanyakan Prestasi Romi di Tanjabtim, Selain Jalan Rusak paalmerah.com, 21 Mei 2024).
Ketidakpuasan atas kebijakan pembangunan ini sejalan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap tata kelola keuangan Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Meskipun Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur berhasil meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2022, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menunjukkan adanya sejumlah temuan signifikan yang mencapai total nilai sebesar Rp 24,3 miliar. Selain memberikan opini atas laporan keuangan, BPK juga melakukan penilaian terhadap Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan memeriksa kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
BPK menemukan adanya kelemahan dalam sistem pengendalian intern serta ketidakpatuhan terhadap regulasi yang berlaku. Di antaranya adalah kesalahan penganggaran belanja jasa konsultansi konstruksi pada tiga Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mencapai Rp 16,72 miliar. Selain itu, terdapat penerapan nilai perolehan objek pajak yang tidak sesuai ketentuan pada Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta penerimaan pendapatan UPTD Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman yang belum disetorkan ke Kas Daerah sebesar Rp 298,42 juta.
Lebih lanjut, BPK menemukan pengeluaran belanja yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan di Dinas Pendidikan, dengan nilai temuan mencapai Rp 238,71 juta. Tidak hanya itu, terdapat pula kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp 4,59 miliar serta koreksi harga satuan pekerjaan senilai Rp 2,47 miliar pada kegiatan belanja modal untuk proyek jalan, irigasi, dan jembatan di bawah tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Klik tautan berikut: psikoday.id).
Temuan-temuan ini tidak hanya menyoroti kelemahan dalam pengelolaan keuangan daerah, tetapi juga mencerminkan dampak nyata terhadap infrastruktur yang semestinya menjadi prioritas. Kondisi infrastruktur yang terabaikan serta prioritas pembangunan yang dinilai kurang tepat ini semakin memperkuat pertanyaan masyarakat terkait efektivitas kepemimpinan Romi Hariyanto. Pertanyaannya adalah, setelah menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Tanjung Jabung Timur selama tiga periode, ditambah dengan dua periode sebagai Bupati, program-program apa yang telah ia buat dan diimplementasikan untuk rakyat yang diakui di tingkat provinsi bahkan nasional?
Keraguan masyarakat terhadap kepemimpinan Romi Hariyanto yang telah lama menjabat ini semakin menyoroti pentingnya keselarasan antara janji politik dan realisasi di lapangan. Ketika masyarakat dihadapkan pada situasi di mana kepala daerah atau calon kepala daerah mengangkat slogan kesejahteraan dan kedekatan dengan rakyat, namun rekam jejak masa lalu tidak mendukung, maka masyarakat perlu bersikap kritis dan cermat dalam membuat keputusan. Ketika ada ketidaksesuaian antara klaim kampanye dan realitas yang ada, hal ini menunjukkan perlunya keterbukaan dan akuntabilitas yang lebih besar dalam politik lokal.
Keterbukaan mengacu pada kemampuan untuk memberikan informasi yang jelas dan mudah diakses kepada publik tentang apa yang sedang dilakukan oleh pemerintah atau pejabat terkait kebijakan, pengelolaan sumber daya, dan hasil yang dicapai. Ini memungkinkan masyarakat untuk secara akurat mengevaluasi kinerja dan memahami apakah janji-janji yang dibuat selama kampanye benar-benar direalisasikan.
Pentingnya transparansi dan implementasi konkret konsep “merakyat” tidak hanya mempengaruhi kepercayaan dan dukungan masyarakat, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai klaim kepemimpinan yang sekadar retorika tanpa bukti nyata. Memilih pemimpin yang tepat adalah investasi yang tak terelakkan bagi masa depan daerah. Keputusan hari ini akan menjadi fondasi bagi kesejahteraan jangka panjang.
Oleh karena itu, masyarakat harus cermat dan cerdas dalam menilai klaim serta janji politik. Dengan menolak pemimpin yang memiliki rekam jejak negatif, seperti keterlibatan dalam narkoba, kita tidak hanya memilih pemimpin yang memenuhi janjinya, tetapi juga meletakkan dasar bagi masa depan yang lebih adil dan sejahtera. Masa depan yang lebih baik dimulai dari pilihan yang kita buat hari ini, pilihan yang mencerminkan harapan dan keberanian kita untuk berubah dan Bersinar (Bersih dari Narkoba), menuju masa depan yang lebih Mantap!